Bram Palgunadi
Masyarakat berbudaya agraris
Masyarakat tradisional Indonesia, khususnya yang tinggal di Pulau Jawa, sejak jaman dahulu kala, terkenal sebagai masyarakat adat tradisional berbudaya agraris. Hasil utama Pulau Jawa, yang amat sangat terkenal berlimpah sejak jaman dahulu, adalah padi. Karenanya, Pulau Jawa pada masa lalu, disebut 'Yawa Dwipa', yang artinya 'Pulau Padi'. Ini merupakan kondisi yang amat sangat penting untuk dipahami, karena amat sangat besar pengaruh dan dominasinya, dalam membentuk berbagai unsur seni dan budaya, yang tumbuh dan berkembang pada berbagai kelompok masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jawa itu.
Pada masa lalu, kegiatan bertani, utamanya menanam padi, yang berlangsung pada masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa, berlangsung sepanjang tahun selama satu kali. Artinya, kegiatan menanam padi, hanya dilakukan setahun sekali. Karena itu, pada kelompok masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa, lalu timbul waktu luang yang relatif amat sangat panjang, yakni sejak selesainya masa tanam padi, sampai masa panen raya; juga setelah masa panen raya, sampai saat menanam padi kembali. Tanah yang relatif sangat subur, kondisi yang relatif tenteram, kehidupan yang tenang, dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif baik; lalu menjadikan berbagai segi kehidupan dalam masyarakat adat tradisional suku-bangsa Jawa, menjadi amat sangat terpengaruh dan didominasi oleh budaya ketanian (agro-culture, agricultural culture).
Pada masyarakat agraris, besarnya waktu luang, memungkinkan dilakukannya berbagai kegiatan pengisi waktu. Kegiatan-kegiatan itu, umumnya bisa dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
- Berbagai kegiatan yang berhubungan secara langsung dan tidak langsung, dengan kegiatan ketanian (proses menanam padi). Yakni kegiatan-kegiatan yang memang harus dilakukan, selama pelaksanaan proses menanam padi.
- Berbagai kegiatan yang tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan ketanian. Yakni kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat sebagai pengisi waktu luang.
Berbagai kegiatan yang berhubungan langsung dengan ketanian, lazimnya bisa dibagi menjadi:
- Berbagai kegiatan yang bersifat teknis, misalnya melakukan proses penjagaan tanaman padi, pemeliharaan tanaman padi, yang merupakan bagian langsung dari proses menanam padi.
- Berbagai kegiatan yang umumnya merupakan kegiatan ritual adat tradisional, yang berhubungan dengan kepercayaan, pemujaan, mitos, legenda, serta upacara adat tradisional.
- Berbagai kegiatan yang umumnya tak berkait-erat dengan dua kegiatan yang sudah dijelaskan di atas, melainkan lebih berkait-erat dengan unsur kesenangan, menikmati kehidupan, dan mengisi waktu luang semata. Misalnya, kegiatan berkesenian, kegiatan membuat berbagai benda/karya seni, kria, serta benda-benda yang berhubungan dengan permainan.
Berbagai kegiatan itu, umumnya berlangsung sejak awal masa tanam padi, sampai akhir masa panen raya. Jadi, waktu luang yang terjadi, lazimnya terjadi pada masa-masa sebagai berikut:
- Pada masa di antara saat selesainya masa tanam padi, sampai menjelang masa panen raya.
- Pada masa di antara saat selesainya panen raya, sampai menjelang masa tanam padi.
Kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang, umumnya berkait-erat dengan bermacam olah seni, yang lebih berhubungan dengan pemuasan kebutuhan akan kesenangan hidup, serta membuat perangkat keperluan hidup sehari-hari, selain kegiatan rutin yang berhubungan langsung dengan persoalan pertanian. Kegiatan olah seni yang dilakukan, termasuk membuat dan memainkan berbagai alat musik tradisional, bercerita, berkisah, bermain bayang-bayang, membuat boneka, membuat patung, termasuk wayang, melantunkan tembang tradisional, berpantun, berpuisi, menulis, membaca, membuat berbagai benda seni, kria, patung, dan berbagai perangkat rumah-tangga.
Berbagai kegiatan yang berhubungan langsung dengan ketanian, lazimnya bisa dibagi menjadi dua kegiatan yang berbeda, yaitu: selain yang bersifat teknis, misalnya melakukan proses penjagaan tanaman padi, pemeliharaan tanaman padi, yang merupakan bagian langsung dari proses menanam padi; umumnya merupakan kegiatan ritual adat tradisional, yang berhubungan dengan kepercayaan, mitos, legenda, serta upacara adat tradisional.
Tanah yang relatif sangat subur, kondisi yang relatif tenteram, kehidupan yang tenang, dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif baik; lalu menjadikan berbagai segi kehidupan dalam masyarakat adat tradisional suku-bangsa Jawa, menjadi amat sangat terpengaruh dan didominasi oleh budaya pertanian (agro-culture, agricultural culture).
Kegiatan pertanian yang berlangsung setahun sekali itu, membuat masyarakat adat tradisional Jawa lalu memerlukan sarana untuk menyimpan padi, sebagai cadangan bahan makanan utama. Sarana penyimpan padi hasil panen raya, serta tempat menyimpan bibit unggul padi; lazim disebut 'Lumbung Pari' (lumbung padi). Karena jarak waktu, antara masa panen raya, dengan masa tanam padi relatif lama (rata-rata lebih dari enam bulan), maka dalam kehidupan masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa, Lumbung Pari menjadi sangat penting perannya.
Ketergantungan masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa kepada padi, yang setelah diolah, lalu berubah menjadi beras; amat sangat tinggi. Penyebabnya jelas, karena makanan utama masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa adalah 'sega' (nasi), yang merupakan beras yang ditanak. Karenanya, dalam pandangan masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa, semua hal yang berhubungan dengan tanaman 'pari' (padi), lalu dihubungkan dengan berbagai ritual adat tradisional, yang berhubungan dengan persoalan hidup dan mati. Karena kehidupan masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa sangat bergantung kepada keberadaan pari (padi), maka kemudian timbullah berbagai upaya untuk mengkhususkan keberadaan pari (padi) dalam kehidupan masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa.
Pandangan bahwa pari (padi) merupakan sumber kehidupan, dan merupakan karunia yang luar biasa dari Sang Penguasa Jagat Raya, membuat masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa memperlakukan pari (padi) secara sangat khusus, dan karenanya kemudian juga menumbuhkan kepercayaan bahwa terdapat kekuatan supra-natural, yang menguasai berbagai hal yang berhubungan dengan pari (padi). Hal inilah, yang kemudian menghadirkan sosok Dewi Sri, atau Bathari Sri; yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan. Karenanya, winih pari (bibit padi) yang disimpan di dalam lumbung pari, untuk ditanam pada musim tanam berikutnya, juga diperlakukan secara khusus, dan lazim disebut 'Mbok Sri' atau 'Ibu Sri'. Bahkan, pari (padi), juga sering disebut 'Sri'. Penyebutan 'Mbok Sri' atau 'Ibu Sri', jelas mengandung makna bahwa winih pari (bibit padi) itu, diperlakukan secara khusus, sebagai 'ibu yang akan melahirkan anak-anak masa depan'. Karenanya, rasa terima-kasih yang timbul, lalu menghasilkan pemujaan kepada Dewi Sri. Di wilayah Tanah Para-Hyangan, sosok yang sama dengan Dewi Sri, dikenal dengan sebutan Dewi Pohaci. Juga merupakan Dewi Kesuburan.
Sejumlah pelaksanaan ritual adat tradisional yang berhubungan dengan pari (padi), umumnya dilaksanakan dalam rangka menyatakan rasa terima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya, atas segala karunia kehidupan yang dilimpahkan kepada kelompok masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa. Demikian pula, pernyataan rasa terima-kasih yang disampaikan kepada Dewi Kesuburan, Dewi Sri.
Penyampaian rasa terima-kasih atas segala karunia yang telah diterima masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa itu, juga lazim dilaksanakan dalam bentuk pelaksanaan upacara ritual adat tradisional 'Ruwatan Merti Desa', yang beberapa di antaranya dikenal sebagai 'Ruwat Bumi', atau 'Sedekah Bumi' misalnya. Kegiatan ritual adat tradisional ini, sudah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum berbagai agama masuk dan menyebar di Pulau Jawa.
Sedemikian kuatnya pengaruh budaya agraris itu, sehingga sampai sekarang kita masih bisa mengenal adanya pelaksanaan berbagai ritual upacara adat tradisional khas, yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa. Tak berhenti sampai di situ saja, bahkan dalam pagelaran wayang kulit purwa, kita juga mengenal adanya 'Babat Parwa Jawa', yang sebagian isi lakon (cerita) yang dikisahkannya, sangat khas Jawa, dan juga bercerita tentang kisah Dewi Sri. 'Babat Parwa Jawa', jelas amat sangat berbeda, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan 'Babat Rama-Yana', serta 'Babat Maha-Barata'; yang keduanya berasal dari India.
.
Panen raya, merupakan pemandangan khas, penuh semarak, kegembiraan, semarak, dan banyak melibatkan banyak penduduk setempat. Pemandangan seperti ini, masih bisa lihat sampai masa sekarang di pedalaman Pulau Jawa.
Kehidupan manusia di Pulau Jawa pada masa lalu, amat sangat dipengaruhi oleh budaya ketanian. Dan, karena pengaruh dan dominasinya yang sangat kuat itu, kemudian terjalinlah berbagai pengandaian, penyamaan, dan juga perumpamaan; yang semuanya, bisa dikatakan merupakan upaya untuk menghubungkan berbagai fenomena kehidupan masyarakat yang terjadi, dengan berbagai fenomena yang terjadi pada kegiatan ketanian; yang merupakan bagian dari kebudayaan agraris. Fenomena seperti ini, juga lazim terjadi pada sejumlah kasus. Misalnya:
- Fenomena personifikasi seorang tokoh (manusia) tertentu, dengan dewa tertentu. Misalnya, tokoh Raja Airlangga, dari Kerajaan Kahuripan, yang dipersonifikasikan sebagai Dewa Wisnu.
- Fenomena personifikasi pari (padi), dengan dewa tertentu. Misalnya, tanaman pari (padi) dipersonifikasikan sebagai Dewi Sri, yang dihormati sebagai Dewi Kesuburan.
Jadi, fenomena personifikasi, bisa jadi memang merupakan cikal-bakal penyebutan sejumlah istilah khas, yang digunakan pada pagelaran wayang kulit purwa dan karawitan Jawa. Selain itu, keduanya juga dikenal sebagai bagian yang tak terpisahkan, dari kehidupan masyarakat adat tradisional Suku-Bangsa Jawa, yang berkebudayaan ketanian atau berkebudayan agraris.
Dari peristiwa sejarah masa lalu, yang didominasi budaya agraris itulah, kita akhirnya mengetahui, mengapa sejumlah besar istilah yang digunakan, khususnya pada karawitan Jawa, dan pagelaran wayang kulit purwa, menggunakan dan berasal dari budaya ketanian ini; termasuk dalam soal penamaan atau sebutan khas untuk sejumlah 'pathet'. Dalam hal ini, penyebutannya disangkut-pautkan dengan masa-masa (waktu) yang berlangsung di bidang ketanian; yang secara umum terdiri dari tiga 'mangsa' (masa, waktu), yaitu:
- 'Mangsa Tandur' atau 'Mangsa Tandur Pari' (masa tanam padi).
- 'Mangsa Tunggu' atau 'Mangsa Tunggu Pari' (masa menunggu tanaman padi tumbuh).
- 'Mangsa Panen' atau 'Mangsa Panen Pari' (masa panen raya).
Sedangkan di antara ketiga masa itu, terdapat 'masa perantara', yang umumnya relatif jauh lebih singkat, tetapi bersifat kritis; yaitu:
- Masa di antara masa tanam dan masa menunggu, ada masa perantara, yang lazim disebut 'Mangsa Ruwat' (masa melakukan pemeliharaan).
- Masa di antara masa menunggu, dengan masa panen raya, ada masa perantara yang lazim disebut 'Mangsa Labuh' (Masa Panca-Roba).
Jadi, jika dinyatakan secara lengkap, akan terdapat lima 'mangsa' (masa, waktu), yang berkait-erat dengan proses menanam pari (padi).
Dalam kehidupan manusia, lazimnya juga dikenal tiga 'masa' seperti itu, yaitu: masa muda (masa awal kehidupan), masa dewasa, serta masa tua (masa akhir kehidupan). Sedangkan dalam berbagai proses, umumnya juga berlaku tiga masa, yaitu: masa mulai (masa awal), masa tengah, serta masa akhir (masa selesai). Dalam suatu peragaan suatu kisah, juga dikenal tiga masa, yaitu: masa awal (masa perkenalan suatu masalah yang hendak digarap), masa tengah (masa saat permasalahan diupayakan untuk diatasi), serta masa akhir (masa saat permasalahan berhasil diselesaikan). Membagi suatu proses menjadi tiga masa, bisa dikatakan merupakan fenomena yang bersifat umum (lazim), dan bisa terjadi pada nyaris pada semua hal.
Berdasar kelaziman itu, maka penampilan tiga masa itu, akhirnya juga digunakan sebagai pegangan, yang diterapkan terhadap berbagai hal, termasuk pada pagelaran wayang kulit purwa. Dalam hal ini, 'masa' (waktu), secara jelas sangat berhubungan dengan terjadinya sejumlah fenomena. Karenanya, 'masa' lalu menunjuk kepada 'suatu panjang kurun waktu tertentu, yang mengandung sejumlah fenomena, kejadian, atau peristiwa'. Khusus untuk pagelaran wayang kulit purwa, istilah 'masa' itulah yang kemudian lebih kita kenal sebagai 'pathet'. Karenanya, pada suatu 'pathet', yang merupakan suatu kurun waktu tertentu, juga terdiri atas sejumlah fenomena, kejadian, atau peristiwa khas tertentu.
Karawitan Jawa, juga pagelaran wayang kulit purwa, dan wayang lainnya (versi Jawa), mengenal istilah ‘pathet’. Ini merupakan salah satu istilah dalam sistem karawitan Jawa, yang mempunyai banyak arti dan makna, yang seringkali sedemikian berbeda, sehingga bisa jadi membingungkan. Pengertian yang paling umum dikenal, adalah pathet dalam pengertian sebagai pembagian waktu pada pagelaran wayang kulit purwa Jawa. Tetapi, akhirnya juga berkembang menjadi pembagian waktu pada berbagai pagelaran yang menggunakan gamelan dan/atau karawitan Jawa. Meskipun demikian, dikenal juga berbagai pengertian lain.
Pada permainan gamelan, selain dikenal adanya dua jenis 'laras' (tangga-nada), juga dikenal adanya pembagian pathet, untuk masing-masing laras tersebut. Sampai sekarang, orang masih agak kabur pengertian yang sesungguhnya tentang pathet ini. Sehingga dengan demikian, agak sukar untuk menjelaskan dan mendefinisikan pengertian pathet yang sesungguhnya. Beberapa penjelasan tentang pathet itu, sedemikian rumitnya, dan bersangkut-paut dengan sejumlah aspek; dari sejumlah aspek yang bersifat sangat filosofis, sampai sejumlah aspek yang bersifat sangat teknis. Namun secara singkat, pathet bisa didefinisikan sebagai ‘pembagian waktu permainan’; khususnya pada permainan gamelan atau permainan karawitan yang mengacu kepada pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Ini adalah foto hamparan sawah yang luas menghijau. Foto ini dibuat pada masa sekarang (sekitar tahun 2022), di suatu wilayah pedalaman Pulau Jawa. Secara umum, di luar berbagai kemajuan jaman yang berlangsung, suasana yang tampil tak banyak berubah, dibandingkan dengan suasana ratusan tahun yang lalu. Suasana wilayah agraris, masih tampil pekat, dan tak banyak berubah.
Pathet dalam karawitan Jawa
Istilah pathet, selain yang sudah banyak diperbincangkan dan dibahas orang, menurut petulis juga berhubungan dengan arti/makna kata pathet itu sendiri. Pada contoh di bawah ini, ditampilkan sejumlah kalimat yang menggunakan kata/istilah pathet, misalnya:
- Pada kalimat yang berbunyi: "Wilahé patheten". Kalimat ini, berarti: "Bilahnya kauredam". Dalam hal ini, yang dimaksud adalah, meminta kepada seseorang, supaya bilah ricikan gamelan yang baru saja dibunyikan, diredam getar suaranya (Inggris: damped), dengan cara dipegang.
- Pada kalimat yang berbunyi: "Prayogané dipatheti dhisîk". Kalimat ini, berarti: "Sebaiknya dilantunkan lagu jenis pathetan lebih dahulu". Dalam hal ini, yang dimaksud, adalah meminta seseorang untuk melantunkan suatu tembang khas yang disebut 'pathetan'. Syair dan tembang jenis ini, biasanya merupakan bagian dari nyanyian dhalang, yang digunakan sebagai ‘pertanda’; misalnya: sebagai pertanda permulaan babak, pertanda akhir gendhîng, pertanda perubahan suasana, dan sebagainya.
- Pada kalimat yang berbunyi: "Gendhîng iki pathet âpâ ?". Kalimat ini, berarti: ‘Lagu (gendhîng) ini pathet-nya apa ?’. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pathet, adalah sebutan bagi suatu acuan waktu tertentu yang digunakan selama pagelaran berlangsung. Misalnya, Pathet Nem, Pathet Sângâ, atau Pathet Manyurâ.
- Pada kalimat yang berbunyi: "Pathetânâ dhisîk". Kalimat ini, berarti: ‘Nyanyikanlah menggunakan lagu jenis pathetan lebih dahulu’.
Dari sejumlah contoh di atas, pengertian pathet jelas ada bermacam-macam. Namun seperti makna aslinya, maka istilah 'pathet', berarti: ‘pegang’; dan istilah 'pathetan', berarti: ‘pegangan’. Sedangkan istilah 'mathet', berarti: ‘memegang’; dan istilah 'matheti' atau 'amatheti, berarti: ‘memegangi’ atau ‘memberikan pegangan’, atau 'menghasilkan pegangan'.
Cobalah bayangkan (atau lakukan), jika Anda diminta membunyikan beberapa nada bilah gamelan, yang dilakukan secara berturutan, dalam irama yang agak cepat. Lakukan proses pembunyian nada gamelan itu, tanpa mathet (tanpa memegang bilah nada yang telah dibunyikan). Maka, antara bunyi nada bilah yang sudah dibunyikan, misalnya dengan cara dipukul, dengan bunyi nada bilah berikutnya, akan terjadi percampuran nada. Semakin cepat pemukulan bilah-bilah nada itu, semakin tidak jelas bunyi nada-nada masing-masing, karena terjadi percampuran nada, dan terjadi fenomena interferensi yang parah.
Proses mathet, adalah proses memegang bilah nada gamelan, saat bilah nada berikutnya dibunyikan. Jadi, tepat pada saat bilah nada pertama dipathet, dan bunyinya diredam (bunyinya menghilang karena bilah nadanya dipegang); pada saat yang bersamaan, bilah nada berikutnya dibunyikan. Misalnya, dengan cara memukul permukaan bilah nada. Proses mathet, bisa diartikan sebagai cara untuk memberikan kepastian, nada mana yang harus dibunyikan dan diperdengarkan; serta nada mana yang harus diredam. Proses mathet yang memberikan kepastian inilah, yang akhirnya juga membuat pathet diartikan sebagai: pedoman, acuan, atau referensi; yang berfungsi menghasilkan suatu kepastian. Dalam hal ini, pedoman, acuan, referensi, atau kepastian itu; bisa berupa sejumlah aturan, referensi, kesepakatan, perjanjian, patokan, nada tertentu, laras (tangga-nada) tertentu, pola garap, mahzab, atau pakem.
Kembali kepada peristiwa dibunyikannya sejumlah bilah nada, seperti telah diuraikan di atas, maka panjang bunyi bilah nada yang dihasilkan, sampai saat bilah nada tersebut dipathet, sehingga bunyinya hilang, atau bunyinya diredam (Inggris: damped); jelas menyatakan adanya unsur waktu. Dalam kaitan dengan hal inilah, maka kemudian pathet juga dihubungkan dengan panjang waktu tertentu.
Dalam pengertian yang lebih khas, lebih luas, dan lebih spesifik, pathet, bermakna: ‘acuan atau pedoman waktu permainan’. Sedangkan istilah 'mathet', atau 'amathet', bisa berarti: ‘berpegang atau berpedoman kepada suatu acuan waktu permainan’. Namun jika dicermati, pathet tidak saja berkait erat dengan soal 'wayah', 'wekdal', atau 'wektu' (waktu) saja, tetapi juga berkait erat dengan ‘laras’ (nada); bahkan juga dengan ‘suasana’ yang dihasilkan, serta 'kesan' yang dihasilkan (Inggris: image) tertentu.
Penggunaan istilah mathet, yang kemudian berkembang dan bergeser pengertiannya, menjadi: 'memberikan pegangan', atau 'memberikan pedoman'. Karenanya, istilah matheti, lalu juga bisa berarti ‘memberikan pegangan atau pedoman berupa nada acuan (misalnya, berupa suara manusia atau suara ricikan gamelan) bagi permainan karawitan’. Acuan yang dimaksud, biasanya berbentuk laras (nada), berbentuk tembang (nyanyian), yang dimainkan menggunakan suara manusia (vokal), instrumental menggunakan ricikan gamelan, atau gabungan keduanya. Sedangkan tembang (lagu) khas yang dimainkannya untuk tujuan sebagai acuan, kemudian lazim disebut ‘pathetan’, yang biasanya dilantunkan oleh dhalang. Dari penjelasan ini saja, sudah bisa dibayangkan betapa beragam dan betapa rumitnya pengertian pathet itu.
Dalam artikel ini, pengertian pathet dibatasi dan lebih mengarah kepada ‘acuan atau pedoman permainan karawitan, yang didasarkan kepada sejumlah ketentuan atau kesepakatan tertentu’. Misalnya, ketentuan atau kesepakatan yang berhubungan dengan nada dasar lagu yang bersifat dominan, ketentuan atau kesepakatan yang berhubungan dengan kelompok waktu permainan, suasana tertentu, kesan tertentu, pakem tertentu, mahzab tertentu, pola garap tertentu, dan juga ketentuan atau kesepakatan yang berhubungan dengan céngkôk (melodi) lagu yang dimungkinkan untuk dimainkan.
Dalam kesepakatan berdasar kelompok atau penggal-penggal waktu permainan, pathet pada pagelaran wayang kulit purwa, secara umum dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu: Pathet Nem, Pathet Sângâ, serta Pathet Manyurâ. Pembagian ini, didasarkan kepada pembagian penggal-penggal waktu yang diterapkan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ; yang menggunakan Laras Sléndro.[1] Penggunaan istilah Pathet Nem, Pathet Sângâ, serta Pathet Manyurâ; pada Laras Sléndro ini, ada hubungan yang sangat erat dengan dunia ketanian (dunia agraria), yang pada masa lampau merupakan bagian langsung dari kehidupan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jawa; terutama pada masa-masa perkembangannya.
Istilah yang digunakan untuk menyebut tiga pathet utama dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ, yaitu Pathet Nem, Pathet Sângâ, dan Pathet Manyurâ; sebenarnya lebih mengacu kepada perhitungan mângsâ (musim, masa, atau waktu) yang digunakan dalam bidang ketanian oleh kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ pada masa yang lampau. Pendapat petulis ini, didasarkan atas tiga hal, yaitu:
- Istilah ‘nem’, ‘sângâ’ dan ‘manyurâ’, merupakan istilah atau sebutan yang digunakan oleh kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ, untuk menyebut tiga mângsâ (musim, masa, waktu, atau bulan); yaitu: 'Mângsâ Kanem' (masa/musim saat padi ditanam, atau saat tanaman padi masih muda umurnya), Mângsâ Kasângâ (masa/musim saat tanaman padi sudah tua), dan Mângsâ Manyurâ (masa/musim saat tanaman padi siap dituai atau saat panen raya). Pembagian ini, bisa ditemukan dengan mudah pada pembagian dan perhitungan mângsâ (musim, masa, waktu), yang lazim disebut 'Pranata Mangsa' (Penataan Masa/Waktu) yang berlaku di kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ pada masa yang lampau.
- Pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya pembagian tiga pathet utamanya, mengacu kepada waktu yang berhubungan dengan masa tanam pari (padi) sampai masa panen raya; yaitu: Mângsâ Kanem (masa/musim saat padi ditanam, atau saat tanaman padi masih muda umurnya), Mângsâ Kasângâ (masa/musim saat tanaman padi sudah tua), dan Mângsâ Manyurâ (masa/musim saat tanaman padi siap dituai atau saat panen raya).
- Pada awalnya, pagelaran wayang kulît pûrwâ merupakan suatu pagelaran yang bersifat ritual adat yang berhubungan dengan kepercayaan dan pemujaan kepada penguasa alam raya, serta pelaksanaan upacara ritual adat ruwatan. Misalnya: upacara ritual adat Ruwat Jalma, Ruwat Bumi, Ruwat Désa, atau Ruwat Kebôn; yang sebagian besar sangat berhubungan dengan cara menyatakan rasa terima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya dan terhadap déwâ kesuburan tanah dan bumi, yakni terhadap Dèwi Sri, Bathari Sri, atau Sang Hyang Sri. Ini merupakan salah satu ritual adat asli masyarakat tradisional suku-bangsa Jâwâ yang berkebudayaan agraris, dan sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum berbagai agama lain datang dan berkembang di Pulau Jawa.
Pulau Jâwâ di masa yang lampau, terkenal dengan sebutan 'Jâwâ-Dwipâ', yang artinya ‘pulau padi’. Kehidupan agraris masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ di masa lampau, rupanya sudah sedemikian kuatnya, sehingga sangat berpengaruh kepada berbagai segi kehidupan. Seperti layaknya kehidupan kaum agraris di manapun di dunia ini, kehidupan kelompok kaum agraris di Pulau Jâwâ pada dasarnya juga memberikan kesempatan besar untuk mengembangkan berbagai bentuk rupa kebudayaan yang sangat khas; yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ‘kebudayaan agraris’. Pengembangan kebudayaan agraris ini, sebagian besar dipicu oleh adanya banyak kesempatan, yang ditimbulkan oleh tersedianya waktu luang yang cukup besar. Yakni saat menunggu tanaman padi, sejak ditanam sampai saat dituai (dipanen).
Di dalam masyarakat tradisional Jâwâ yang agraris di masa lampau, penanaman pari (padi) dilakukan satu kali dalam setahun.[2] Untuk itu, secara umum digunakan tiga penyebutan masa atau musim, masing-masing adalah: Mângsâ Kanem, Mângsâ Tandûr, atau Mângsâ Pari Anôm, yaitu masa atau musim saat padi masih sangat muda; Mângsâ Kasângâ atau Mângsâ Pari Tuwâ, yaitu masa atau musim saat padi sudah tua, tetapi belum saatnya dituai; serta Mângsâ Manyurâ atau Mângsâ Panèn, yaitu masa atau musim saat dilakukan panen raya. Sebagai gambaran, di kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ yang berbudaya agraris, pada masa lampau, sebutan bulan-bulan (ada duabelas bulan) dalam setahun, bisa dilihat pada Tabel 1.Sebagai catatan, penggunakan awalan suku-kata ‘ka’ dalam bahasa Jâwâ, setara artinya dengan ‘ke’ atau ‘yang ke’ dalam bahasa Indonesia. Misalnya, istilah kalimâ, berarti: ‘ke-lima’, atau ‘yang ke-lima’.
Jika kita perhatikan, maka dengan segera kita bisa menghubungkan antara sebutan bulan-bulan tersebut dengan suatu kondisi tertentu dalam dunia ketanian di pulau Jawa pada masa lampau (lihat Tabel 2).[3] Yakni sebagai berikut:
a). Mângsâ tandûr pari. Adalah masa/saat bertanam padi. Diawali pada bulan keenam (6), yang lazim disebut Wulan Kanem atau Mângsâ Kanem. Pada bulan-bulan ini, dikenal sebagai saat menjelang akhir musim penghujan, yang lazim disebut Mângsâ Rendheng. Masa ini, jika ditinjau dari segi pertumbuhan tanaman pari (padi), bisa disebut sebagai Mângsâ Pari Anôm, Mângsâ Pari Nôm, Mângsâ Pari Enèm, atau Mângsâ Pari Nèm.
b). Mângsâ pari tuwâ. Adalah masa/saat padi sudah mulai menua, tetapi belum dituai. Biasanya berada di sekitar bulan kesembilan, yang lazim disebut Wulan Kasângâ atau Mângsâ Kasângâ. Pada bulan-bulan ini, biasanya dikenal sebagai saat musim kemarau, yang lazim disebut Mângsâ Ketigâ. Masa ini, jika ditinjau dari segi pertumbuhan tanaman pari (padi), bisa disebut sebagai Mângsâ Tenggâ, Mângsâ Tunggu, (masa menunggu) atau Mângsâ Pari Tuwa (masa padi sudah tua). Masa ini, dapat dikatakan sebagai masa paling kritis, karena pada saat seperti inilah berbagai hama padi mengincar tanaman pada petani itu.
c). Mângsâ panèn pari. Adalah masa/saat padi dituai atau dipanen. Biasanya jatuh pada akhir bulan kesembilan atau awal bulan kesepuluh. Masa ini, jika ditinjau dari segi pertumbuhan tanaman pari (padi), bisa disebut sebagai Mângsâ Raharja (masa yang penuh dengan kegembiraan dan kesejahteraan), karena pada masa inilah hasil tanaman padi dipanen oleh para petani. Masa ini, seringkali juga disebut Mângsâ Manyurâ.[4] Ini menggambarkan betapa gembiranya para petani itu, setelah melewati masa-masa menunggu yang sangat kritis.
Peristiwa di dunia ketanian tradisional Jawa ini, begitu kuat pengaruhnya terhadap berbagai hal yang berkait erat dengan kehidupan dan budaya masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jawa; sehingga berbagai istilah dalam karawitan Jâwâ juga menjadi terpengaruh. Jika dianalogikan dengan peristiwa yang terjadi di dunia pertanian, maka di dunia karawitan akhirnya juga mengenal sejumlah istilah yang berasal dari dunia ketanian ini.
Diagram tersebut di atas, berlaku untuk urutan pathet pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, yang pada masa lampau hanya menggunakan Gamelan Laras Sléndro (tanpa Gamelan Laras Pélôg).
Mângsâ Kanem. Adalah masa atau musim ‘saat padi masih sangat muda’. Di kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ, ‘Mângsâ Nèm’ atau ‘Mângsâ Nôm’ pada proses penanaman pari (padi), secara umum juga mewakili masa sekitar Mângsâ Rendheng (musim penghujan). Karena tepat pada musim penghujan, maka umumnya suasananya tenang dengan suhu udara yang relatif agak rendah (relatif lebih dingin). Tanah ketanian di sebagian besar wilayah Pulau Jâwâ, terutama di wilayah pegunungan yang membentang di sepanjang bagian tengah Pulau Jâwâ, dari sebelah barat sampai sebelah timur, pada masa penghujan ini, menjadi sangat basah dan gembur, sehingga sangat subur dan mudah ditanami. Pada musim ini, bagi para petani tradisional Suku-Bangsa Jâwâ dikenal sebagai Mângsâ Tandûr Pari (musim tanam padi). Dalam pengertian ini, Mângsâ Kanem mewakili masa awal dari suatu pagelaran tanam padi; dan seperti itu juga pengertiannya dalam filosofi pagelaran wayang kulît pûrwâ. Karenanya, dalam penggunaan di dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ, istilah Pathet Nem ini digunakan untuk menyebut kelompok atau penggal waktu permainan pada saat awal pagelaran.
Mângsâ Kasângâ. Adalah masa atau musim ‘saat padi sudah tua dan mulai kering’. Masa ini, di kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ dikenal sebagai masa menunggu pari (padi) menguning (tua), sehingga siap panen. Masa ini, secara umum juga mewakili Mângsâ Katigâ atau Mangsa Ketigâ (musim kemarau); yang umumnya berlangsung selama sekitar tiga sampai empat bulan setelah masa penanaman padi. Di kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ, masa ini seringkali disebut sebagai ‘masa penantian’ atau ‘masa kritis’; dan memang demikian pula kenyataannya.[5] Para petani, menunggu masa padi menua dengan harap-harap cemas. Masa ini, dikenal sebagai masa yang sangat kritis sifatnya. Umumnya, para petani juga harus mewaspadai datangnya berbagai hama, terutama hama tikus; pada saat masa penantian ini. Kondisi tanah di wilayah Pulau Jâwâ, pada masa ini relatif kering, dengan suhu udara yang relatif tinggi. Di beberapa wilayah tertentu di Pulau Jâwâ, bahkan sedemikian keringnya, sehingga airpun menjadi sulit didapatkan. Dalam pengertian ini, Mângsâ Kasângâ mewakili masa tengah yang kritis, dari suatu pagelaran tanam padi; dan seperti itu juga pengertiannya dalam filosofi pagelaran wayang kulît pûrwâ. Karenanya, dalam penggunaan di dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ, istilah Pathet Sângâ ini digunakan untuk menyebut kelompok atau penggal waktu permainan pada saat tengah pagelaran.
Mângsâ Manyurâ. Adalah masa atau musim ‘saat padi dituai atau dipanen’. Di kalangan masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ, masa ini dikenal sebagai masa panèn pari (menuai atau panen padi) secara besar-besaran (panen raya). Istilah ‘manyurâ’, berarti: Burung Merak. Burung Merak, yang banyak dijumpai di hutan-hutan Pulau Jâwâ, merupakan salah satu jenis burung yang dapat dikatakan terindah. Burung ini, mempunyai bulu yang sangat panjang, berkilau, dan berwarna-warni. Bulu ekornya yang panjang dan berwarna-warni itu, bisa dimekarkan dan ditegakkan, sehingga berbentuk seperti kipas besar dengan warna-warni yang sangat indah; dan karenanya terlihat sangat indah dan cantik. Penggunaan istilah ‘manyurâ’, sebenarnya lebih mewakili suasana keceriaan, gembira-ria, dan pesta yang dilakukan penduduk, setelah selesainya masa panen raya. Yakni setelah melewati masa-masa penantian yang kritis selama beberapa bulan. Dalam pengertian ini, Mângsâ Manyurâ mewakili masa akhir dari suatu pagelaran tanam padi dan seperti itu juga pengertiannya dalam filosofi pagelaran wayang kulît pûrwâ. Karenanya, dalam penggunaan di dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ, istilah Pathet Manyurâ ini digunakan untuk menyebut kelompok atau penggal waktu permainan pada saat akhir pagelaran.
Dari penjelasan di atas, kita memperoleh gambar yang agak lebih jelas, tentang hubungan antara sejumlah istilah yang digunakan di dunia ketanian, yang akhirnya membentuk kebudayaan agraris di Pulau Jawa pada masa yang lampau, dengan sejumlah istilah yang digunakan di dalam dunia karawitan Jawa. Sudah tentu, penggunaan istilah-istilah yang sebenarnya sangat berbeda kontexnya ini, tidak mudah diterima, kecuali ada sesuatu yang sangat besar pengaruhnya terhadap penggunaan istilah-istilah itu. Dalam hal ini, pengaruh yang sangat besar ini, datang dari dunia kebudayaan agraris (ketanian).[6]
Jika pemahaman kita sejalan dengan penjelasan di atas, maka penyebutan nama-nama pathet yang berasal dari istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ pada kegiatan bercocok-tanam atau ketanian, khususnya yang berhubungan dengan nama atau sebutan mângsâ (musim); sebenarnya mempunyai sejumlah alternatif penyebutan yang lain, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.
Berlandas bahasan tersebut di atas, dapatlah dimengerti mengapa istilah nem, sângâ, atau manyurâ dalam penyebutan pathet, itu tidak bisa kita runut asalnya (sejarahnya), jika hanya didasarkan kepada masalah karawitan (musik) semata. Selain itu, pada masa lampau itu, pengaruh kebudayaan agraris itu, sedemikian kuatnya terhadap masyarakat tradisional Suku-Bangsa Jâwâ, sehingga bukan tidak mungkin berbagai sebutan atau istilah yang digunakan pada dunia ketanian, juga digunakan pula pada dunia karawitan atau dunia musik mereka itu.
Jika pada Laras Sléndro penyebutan nama-nama pathet menggunakan patokan waktu, masa, atau musim yang berkait erat dengan pertanian, bagaimana halnya dengan pada Laras Pélôg ? Pertanyaan ini menjadi menarik, karena kenyataannya pada Laras Pélôg justru nama-nama pathet-nya tidak didasarkan atas hal yang sama; melainkan lebih didasarkan kepada nada-nada dasar yang bersifat dominan pada pathet yang bersangkutan; yaitu Pathet Limâ, Pathet Nem, dan Pathet Barang. Selain itu, nama-nama pathet ini tidak digunakan sebagai sebutan untuk penggal-penggal waktu pagelaran. Hal ini mudah dimengerti, karena pada awalnya pagelaran wayang kulît pûrwâ, tidak menggunakan Gamelan Laras Pélôg, melainkan menggunakan Gamelan Laras Sléndro. Dengan demikian, untuk Laras Pélôg penyebutan nama-nama pathet-nya adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 4.
Jika pemahaman kita tentang pathet itu, didasarkan kepada ‘pembagian penggal-penggal waktu pagelaran’; khususnya pembagian waktu yang diterapkan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, maka secara lengkap akan didapatkan bagan pembagian waktu seperti diperlihatkan pada Tabel 5.
Pathet dalam pengertian pembagian waktu, seperti dijelaskan dalam bagan di atas, menggunakan acuan ‘panjang waktu’ yang digunakan pada pelaksanaan pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk atau sehari suntuk. Hal ini, tidak memperhitungkan adanya 'waktu luang’ yang terjadi di antara pukul 17.00 sore hari sampai sekitar pukul 21.00 malam; atau di antara pukul 05.00 pagi sampai sekitar pukul 09.00 pagi. Pencantuman panjang waktu yang diterakan pada tabel di atas, hanya sebagai patokan kasar yang bersifat tidak terlalu mengikat. Sedangkan kenyataannya, seringkali terjadi pergeseran waktu, yang pada dasarnya disesuaikan dengan kebutuhan saat pagelaran dilaksanakan.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dilaksanakan secara berturutan, misalnya dua hari dua malam terus-menerus, biasanya dilaksanakan dengan cerita yang juga berturutan; misalnya; sejumlah kisah perang Barâtâ Yudâ. Waktu luang yang dimaksud, umumnya terjadi sejak pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk selesai, yaitu pada pagi hari, sekitar pukul 05.00 pagi; sampai saat pagelaran wayang kulît pûrwâ (sehari suntuk) berikutnya dimulai, sekitar pukul 09.00 pagi. Atau, saat pagelaran wayang kulît pûrwâ (sehari suntuk) selesai, pada sore hari, sekitar pukul 17.00, sampai saat pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk berikutnya dimulai, yaitu pada sekitar pukul 21.00 malam. Panjang waktu luang ini kira-kira empat (4) jam; yaitu, di antara pukul 05.00 pagi/subuh, sampai sekitar pukul 09.00 pagi; atau, di antara pukul 17.00 sore hari, sampai sekitar pukul 21.00 malam hari.
Artinya, jika hendak memainkan serangkaian gendhîng pada saat-saat waktu luang tersebut, yaitu di antara pukul 05.00 pagi/subuh, sampai sekitar pukul 09.00 pagi; atau di antara pukul 17.00 sore hari, sampai sekitar pukul 21.00 malam hari; gendhîng-gendhîng yang hendak dimainkan itu, pathet-nya juga harus diatur dan disesuaikan sedemikian rupa, sehingga selaras dengan pangaturan alur pathet secara keseluruhan. Hal ini, umumnya juga berlaku jika para penyelenggara pagelaran hendak menyelipkan sejumlah ‘acara lain’, pada saat-saat waktu luang ini, misalnya berbentuk gebyakan karawitan, panembrâmâ, gebyakan beksâ (tari lepas), pethilan (tari berbentuk penggalan dari suatu cerita tertentu), atau pagelaran lainnya.
Untuk mengatur dan mengelola seluruh pembagian (distribusi) waktu tersebut, sedikit-banyak diperlukan kemampuan dan kemahiran untuk mengelola serta mengatur urutan acara sedemikian rupa, sehingga seluruh acara yang telah direncanakan bisa dilangsungkan secara selaras (harmonis), dengan suasana yang baik dan nyaman.[7] Jika hal ini bisa dilaksanakan secara baik, maka umumnya tidak akan terjadi suasana yang tidak nyaman. Namun demikian, dalam sebagian besar kasus pelaksanaan suatu pagelaran, umumnya tidak seluruh acara bisa dilaksanakan secara ideal. Misalnya, pada saat urutan pewaktuan pagelaran sebenarnya sedang pada kelompok waktu Pathet Limâ (pada Laras Pélôg); atau, Pathet Nem (pada Laras Sléndro); tetapi tiba- tiba diperlukan selingan acara berupa pementasan suatu beksâ (tari), yang iringan karawitan-nya menggunakan Laras Sléndro Pathet Sângâ. Hal-hal semacam ini, kenyataannya cukup sering terjadi; dan umumnya juga sulit untuk dihindarkan begitu saja. Jika pendekatan tersebut diterapkan, maka akan dihasilkan bagan siklus waktu seperti diperlihatkan pada Tabel 6.
Pembagian waktu atau siklus waktu pada bagan tersebut, mengacu kepada pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk atau sehari suntuk. Sudah barang tentu, bagan di atas hanyalah bersifat skematis dan hanya digunakan sebagai patokan kasar. Dalam kondisi sesungguhnya, panjang-pendeknya pembabakan waktu pagelaran lebih banyak disesuaikan dengan kebutuhan. Pagelaran wayang kulît pûrwâ, umumnya didahului dengan Babak Talu, yang dimainkan selama kurang-lebih satu jam; yakni antara pukul 08.00 – 09.00 pagi; atau antara pukul 20.00 – 21.00 malam. Gendhîng yang dimainkan pada Babak Talu, umumnya menggunakan Laras Sléndro Pathet Manyurâ.
Pengurutan alur laras dan pathet, sangat penting untuk mendapatkan alur pagelaran atau alur permainan yang serasi. Penggunaan laras dan pathet yang meloncat-loncat (tidak berurut), akan berakibat terjadinya ketidak-serasian; serta timbulnya rasa tidak enak (tidak nyaman), bagi para pendengar atau para panjak. Selain itu, penggunaan laras dan pathet yang tidak berurut, seringkali juga berakibat sangat memudahkan terjadinya swârâ slîrîng atau swârâ bléro (salah nada; Inggris: false); terutama para panjak atau dhalang, yang banyak menggunakan kemampuan vokal (suara). Ini seringkali terjadi pada saat menyanyikan tembang (lagu) atau syair. Secara singkat, jika diurutkan, maka pola permainan sebaiknya mengikuti alur penggunaan laras dan pathet seperti diperlihatkan pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Khusus untuk iringan pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk atau sehari suntuk, selain pembagian laras dan pathet seperti yang telah dijelaskan pada bagan di atas, juga didapati adanya ‘penyisipan’ pathet lain, di antara pathet-pathet yang sudah ada. Dalam hal ini, terdapat dua pathet lain, yaitu:
- Pathet Lindûr.[8] Adalah sebutan untuk suatu babak atau pathet lain, yang pada pembabakan pagelaran wayang kulît pûrwâ, letaknya berada di antara Babak Pathet Nem dan Babak Pathet Sângâ.
- Pathet Nyamat.[9] adalah sebutan untuk suatu babak atau pathet lain, yang pada pembabakan pagelaran wayang kulît pûrwâ, letaknya berada di antara Babak Pathet Sângâ dan Babak Pathet Manyurâ.
Kedua pathet yang disisipkan di antara dua pathet lainnya itu, umumnya berfungsi sebagai ‘masa peralihan’ (masa transisi). Meskipun demikian, penyebutan gendhîng menggunakan awalan salah satu pathet tersebut, kurang lazim. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, pathet sisipan ini, umumnya masih menjadi bagian dari pembabakan pathet sebelumnya. Misalnya, Babak Pathet Lindur, sebenarnya masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Babak Pathet Nem. Sedangkan Babak Pathet Nyamat, sebenarnya masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Babak Pathet Sangâ.
Dari segi susunan nada-nadanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap pathet tertentu, umumnya mempunyai kecenderungan sifat susunan nada-nadanya tertentu pula. Kecenderungan yang berkait erat dengan penggunaan sejumlah nada-nada tertentu, misalnya sebagai berikut:
- Gendhîng Laras Sléndro Pathet Nem. Susunan rangkaian notasi gendhîng-nya cenderung banyak menggunakan susunan nada yang terdiri dari nada 2 (gulu), 3 (dhâdhâ), 5 (limâ), 6 (nem), dan 1 (barang); dengan nada yang dominan umumnya jatuh pada nada 2 (gulu) atau 6 (nem).
- Gendhîng Laras Sléndro Pathet Sângâ. Susunan rangkaian notasi gendhîng-nya cenderung banyak menggunakan susunan nada yang terdiri dari nada 5 (limâ), 6 (nem), 1 (barang), 2 (gulu), dan 3 (dhâdhâ); dengan nada yang dominan umumnya jatuh pada nada 5 (limâ).
- Gendhîng Laras Sléndro Pathet Manyurâ. Susunan rangkaian notasi gendhîng-nya cenderung banyak menggunakan susunan nada yang terdiri dari nada 6 (nem), 1 (barang), 2 (gulu), 3 (dhâdhâ), dan 5 (limâ); dengan nada yang dominan umumnya jatuh pada nada 6 (nem) atau 3 (dhâdhâ).
- Gendhîng Laras Pélôg Pathet Limâ. Susunan rangkaian notasi gendhîng-nya cenderung banyak menggunakan susunan nada yang terdiri dari nada 1 (bem), 2 (gulu), 3 (dhâdhâ), 4 (pélôg/papat), dan 5 (limâ); dengan nada yang dominan umumnya jatuh pada nada 5 (limâ).
- Gendhîng Laras Pélôg Pathet Nem. Susunan rangkaian notasi gendhîng-nya cenderung banyak menggunakan susunan nada yang terdiri dari nada 1 (bem), 2 (gulu), 3 (dhâdhâ), 5 (limâ), dan 6 (nem); dengan nada yang dominan umumnya jatuh pada nada 6 (nem).
- Gendhîng Laras Pélôg Pathet Barang. Susunan rangkaian notasi gendhîng-nya cenderung banyak menggunakan susunan nada yang terdiri dari nada 7 (barang), 2 (gulu), 3 (dhâdhâ), 5 (limâ), dan 6 (nem); dengan nada yang dominan umumnya jatuh pada nada 6 (nem).
Selain itu, juga terdapat ‘kecenderungan untuk menghindari penggunaan nada-nada tertentu dalam susunan rangkaian notasi suatu balungan gendhîng’, misalnya sebagai berikut:
- Gendhîng Laras Pélôg Pathet Limâ. Mempunyai kecenderungan untuk jarang, atau tidak menggunakan nada-nada 3 (dhâdhâ) dan 7 (barang).
- Gendhîng Laras Pélôg Pathet Nem. Mempunyai kecenderungan untuk jarang, atau tidak menggunakan nada-nada 4 (pélôg/papat) dan 7 (barang).
- Gendhîng Pélôg Pathet Barang. Mempunyai kecenderungan untuk jarang, atau tidak menggunakan nada-nada 1 (bem) dan 4 (pélôg/papat).
Meskipun demikian, kenyataannya sering juga didapati adanya rangkaian notasi gendhîng yang menyimpang dari ‘ketentuan’ seperti yang sudah dijelaskan di atas, sehingga bersifat ‘anomali’. Dalam hal ini, rupanya faktor rasa, garap, kenyamanan, serta keindahan lagu atau gendhîng, seringkali mengalahkan berbagai macam aturan yang bersifat sangat teknis.
Pagelaran wayang, khususnya pagelaran wayang kulit purwa, adalah suatu pagelaran yang merupakan 'teater total' (Inggris: total theater). Semua yang ada di sekitar arena pagelaran, merupakan bagian langsung dari pagelaran wayang itu.
Bahkan dalam pagelaran karawitan Jâwâ, khususnya yang digunakan sebagai pengiring pagelaran wayang, seringkali dijumpai adanya penyimpangan-penyimpangan. Bentuk penyimpangan ini, tidak sekedar hanya penyimpangan nada, tetapi sudah lebih jauh lagi. Misalnya, memainkan Gendhîng Laras Sléndro Pathet Manyurâ, pada saat pagelaran sedang pada kedudukan Babak Pathet Nem. Atau, memainkan Gendhîng Laras Pélôg Pathet Nem, pada saat pagelaran sedang pada Babak Pathet Nem.
Kondisi seperti yang dicontohkan itu, kenyataannya seringkali dilakukan dengan sengaja. Pathet tertentu, yang digunakan pada suatu babak yang tidak sesuai ini, lazim disebut ‘pathet silihan’ (pathet pinjaman). Sedangkan gendhîng ber-pathet tertentu, yang dimainkan pada babak yang tidak sesuai, juga disebut ‘gendhîng silihan’ (gendhîng pinjaman). Maksudnya, gendhîng dari pathet lain tersebut, ‘dipinjam’ untuk digunakan secara sengaja pada babak tertentu (yang sebenarnya tidak sesuai). Semua ini, dilakukan untuk mengejar serta membentuk dan mencapai suasana tertentu, yang dikehendaki dalam pagelaran.
Penerapan 'pathet silihan', yang misalnya dilakukan dalam bentuk dimainkannya suatu gendhing ber-pathet tertentu, pada saat (waktu) yang tak seharusnya; bisa jadi masih bisa diterima, tanpa terlalu banyak kesulitan. Misalnya, memainkan Gendhing Pathet Manyura, yang mempunyai nada akhir atau nada gong, 2 (gulu) atau 6 (nem); pada saat sedang berada pada waktu Pathet Nem. Contohnya, memainkan Gendhing Ladrang Moncer, Laras Slendro Pathet Manyura, pada waktu pagelaran wayang sedang berada pada masa Pathet Nem. Jika hal ini dilakukan, tak akan terasa aneh. Tetapi, jika yang dimainkan adalah Gendhing Ladrang Moncer Laras Pelog Pathet Barang, dan dimainkan pada masa Pathet Nem, maka akan menjadi aneh, dan bisa terjadi kesulitan. Misalnya, dalam hal yang berhubungan dengan vokal. Contohnya, tembang suluk yang hendak dilantunkan, selepas selesainya permainan gendhing itu.
Pada awalnya, yakni pada masa yang lalu, pradangga yang mengiringi pagelaran wayang kulit purwa, lazimnya diperankan oleh para pradangga pria. Tetapi pada jaman sekarang, pagelaran wayang kulit purwa, juga bisa dilaksanakan oleh para pradangga wanita. Foto ini, memperlihatkan sekumpulan para pradangga pengiring pagelaran wayang kulit purwa, yang nyaris seluruhnya terdiri dari wanita; yang merupakan para sahabat Mbak Brigitta Widowati 'Dark', serta Mbak Briggida Seruni Widaningrum, yang kembar. Keduanya, adalah dhalang wayang kulit, dan sekaligus juga pradangga.
Meskipun demikian, persoalan memainkan gendhing pathet tertentu pada waktu yang tidak sesuai itu, sebaiknya dihindari. Bagaimanapun juga, persoalan pathet itu, tak hanya berurusan dengan pengaturan waktu permainan semata, tetapi juga berurusan dengan persoalan nada yang dijadikan acuan; termasuk acuan terhadap nada vokal. Karenanya, ketidak-patuhan terhadap penerapan pathet, bisa juga bermuara kepada ketidak-nyamanan rasa yang dihasilkan. Selain itu, ketidak-patuhan terhadap pathet, bisa juga bermuara kepada terjadinya acuan suara yang salah.
Pathet, sebagai sesuatu pegangan, dan sekaligus juga acuan waktu pagelaran, tak sekedar membagi porsi waktu pagelaran semata, tetapi lebih dari itu semua, pathet juga mewakili suatu proses siklus perjalanan kehidupan, yang dimulai dari masa 'parwa' (masa awal), yang memperkenalkan segalanya kepada kita sebagai manusia. Lalu, datanglah masa 'madya' (masa tengah), saat manusia berusaha memahami, mencari gagas-gagas baru, dan mengujinya. Kemudian, sampailah perjalanan manusia ke masa puncaknya, yang kita mengenalnya sebagai masa 'manyura' (masa yang cemerlang), yang juga merupakan puncak segala pencapaian yang dimimpikan manusia; tetapi sebenarnya juga merupakan masa akhir segalanya. Dan, seluruh perjalanan kehidupan manusia itu, sebenarnya juga di-gelar seluruhnya, secara ringkas, dalam permainan Gendhing Talu Wayangan. Maka, pathet bolehlah dikatakan sebagai tak sekedar refleksi budaya ketanian semata; melainkan jauh lebih dalam dari itu semua, yaitu merefleksikan seluruh siklus kehidupan manusia, sejak awal, sampai akhir. Karenanya, pathet juga merupakan 'gambaran kehidupan', pada suatu wilayah masa tertentu.
[1] Pada masa lampau, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan Gamelan Laras Sléndro saja. Karenanya, istilah yang digunakan berasal dari Laras Sléndro.
[2] Karena di masa yang lampau penanaman padi dilakukan setahun sekali, maka para petani di desa-desa pulau Jâwâ, umumnya menyimpan padi hasil panennya dalam bangunan ‘lumbûng pari’ (gudang padi); bagi keperluan menghadapi masa paceklik. Di wilayah pedesaan pulau Jâwâ, di masa lampau umumnya setiap desa mempunyai sebuah ‘lumbûng pari’ (gudang padi) yang berukuran cukup besar, untuk memasok kebutuhan makanan bagi seluruh penduduk di desa tersebut. Setiap rumah-tangga di desa, umumnya juga mempunyai ‘lumbûng pari’ (gudang padi) sendiri, yang berukuran lebih kecil; yang digunakan untuk menyimpan persediaan bahan makanan bagi keperluan sendiri. Sayang, kebiasaan yang sangat baik ini, pada masa sekarang justru banyak dilupakan orang. Pada masa sekarang, penduduk Pulau Jâwâ rupanya lebih suka mengandalkan persediaan bahan makanan (beras) yang disediakan oleh pemerintah, melalui instansi/lembaga Bulog (Badan Urusan Logistik). Badan ini, untuk melaksanakan fungsinya, didukung oleh sarana berupa sejumlah besar gudang beras, yang lokasinya tersebar di seluruh Indonesia. Secara fungsional, gudang-gudang beras ini, sebenarnya sama fungsinya dengan ‘lumbûng pari’ (gudang padi), tetapi berukuran jauh lebih besar
[3] Menurut penjelasan Drs. Adi Nugraha MA. Saat diwawancarai penulis, di Finlandia, nama-nama sebutan bulan, secara tradisional juga sesuai dengan pembagian waktu kegiatan ketanian. Misalnya, bulan ‘saat menanam’, bulan ‘saat menuai’, atau bulan ‘saat salju berbentuk seperti mutiara’, bulan ‘saat rumput dituai’, seterusnya.
[4] Istilah ‘Mângsâ Manyurâ’, digunakan untuk menggambarkan betapa gembiranya para petani saat menuai tanaman padi. ‘Manyurâ’, artinya: Burung Merak. Untuk diketahui, burung yang di Pulau Jâwâ dianggap paling indah, adalah Burung Merak. Setiap kali Burung Merak ini hinggap, beberapa saat setelah itu perlahan-lahan bulu-bulunya akan mengembang, termasuk bulu ekornya yang lebar, besar, dan panjang. Bulu-bulu Burung Merak ini, terlihat indah berwarna-warni, pada saat mengembang. Peristiwa bulu-bulu Burung Merak yang mengembang dengan indah inilah, yang kemudian digunakan untuk menggambarkan masa akhir (masa panen raya) yang penuh dengan kegembiraan itu.
[5] Dari buku-buku sejarah dan sejumlah pustaka tua, sejumlah wilayah di Pulau Jâwâ pada masa lampau, diketahui pernah diserang wabah penyakit ‘pes’ sebanyak beberapa kali; yang meminta korban manusia sampai berjumlah jutaan orang. Wabah ini, diakibatkan oleh adanya hama tikus yang hidup di wilayah-wilayah ketanian. Hama tikus di Pulau Jâwâ, sudah merupakan musuh para petani sejak ribuan tahun yang lampau. Pada sekitar tahun 1960-an, hama tikus di Pulau Jâwâ merajalela sedemikian luasnya, sehingga pemerintah saat itu, memerlukan upaya yang sangat serius untuk membasminya. Hama tikus, sampai sekarang sekalipun, masih merupakan salah satu hama tanaman ketanian yang tetap dianggap sebagai hama yang sangat serius, dilihat dari kerusakan yang diakibatkan. Upaya-upaya pembasmian hama tikus di wilayah-wilayah ketanian ini, sampai sekarang masih berlanjut.
[6] Kebudayaan agraris ini, juga sangat besar/kuat pengaruhnya terhadap dunia keseni-rupaan yang berkembang di Pulau Jâwâ pada masa lampau. Sebagai contoh, bisa dilihat dan diamati pada banyaknya pengaruh bentuk-rupa fauna dan flora yang diterapkan pada berbagai pola ragam-hias tradisional khas Jâwâ.
[7] Pekerjaan pengaturan dan pengelolaan waktu selama pagelaran berlangsung, pada masa sekarang biasanya dilakukan oleh seorang yang bertindak sebagai ‘pengatur acara’; yang dalam bahasa Jâwâ disebut ‘pranâtâ acârâ’ atau ‘pengatûr acârâ’. Dalam pagelaran modern, mereka dikenal sebagai ‘manajer panggung’ (Inggris: stage manager) atau‘manajer program’ (Inggris: programm manager). Mereka ini, bertindak mengatur dan mengelola seluruh program acara, misalnya: mengatur urutan acara, menetapkan siapa pendukung yang tampil, panjang waktu yang digunakan, mengatur pengisian waktu jeda, mengatur pengisian kekosongan waktu, mengatasi jika terjadi kondisi darurat (Inggris: emergency), menetapkan pemain pengganti (jika diperlukan), mempersiapkan pengaturan kelompok pemain, melakukan koordinasi dengan setiap ketua/kepala kelompok pemain, memeriksa kesiapan pemain, memeriksa seluruh kelengkapan pemain secara teliti pada saat-saat terakhir sesaat sebelum tampil di panggung, mengatasi berbagai kesulitan yang timbul sebelum, selama, dan sesudah pagelaran berlangsung, mengatur pergantian suasana pagelaran yang dikehendaki, dan mengatur pergantian acara; dari sejak masih bersifat persiapan, pelaksanaan, sampai dengan selesai. Pada sejumlah kasus pagelaran, karena kesibukan, beban, dan kerumitan kegiatannya, mereka seringkali dibantu oleh sejumlah ‘pembantu’ atau ‘asisten’ (Inggris: asistant), yang jumlah dan keakhliannya bisa disesuaikan dengan keperluan dan bidang-bidang khas yang ditangani. Pada sejumlah kasus, mereka seringkali juga berperan sebagai ‘pembawa acara’ (Inggris: anouncer, master ceremony, MC), meskipun sebenarnya peran ini bisa dilakukan oleh orang lain.
[8] Istilah lindûr atau nglindûr; mempunyai arti: tidur tidak tenang, atau tidur sambil berkata-kata tetapi tidak jelas. Biasanya dilakukan orang pada saat tidur belum terlalu nyenyak, yakni pada waktu menjelang tengah malam. Penggunaan istilah lindûr, rupanya disesuaikan dengan saat orang sedang nglindûr; yakni berhubungan dengan waktu yang mendekati tengah malam. Situasi cerita yang dibawakan dhalang, sampai tahap ini sebenarnya juga pada kondisi ‘belum terlalu jelas benar’ ujung akhirnya. Sehingga diibaratkan seperti orang yang nglindûr.
[9] Istilah nyamat atau lamat; setara artinya dengan kata nyamat-nyamat, atau lamat-lamat; yang artinya: mendengar tetapi tidak begitu jelas. Seperti mendengarkan suara dari jauh, suaranya kadang-kadang jelas, kadang-kadang tidak jelas. Istilah nyamat, rupanya juga didasarkan atas kondisi cerita yang dibawakan oleh dhalang. Sampai pada tahap ini, ujung akhir ceritanya ‘sudah mulai terkuak, samar-samar sudah mulai agak jelas’.Kondisi seperti ini, jika disetarakan dengan proses mendengar, disebut lamat-lamat atau nyamat-nyamat.