03 Oktober, 2023

TITI-LARAS: TANGGA-NADA PADA GAMELAN JAWA



 Bram Palgunadi





Pada gamelan Jawa, sistem tangga-nada lazim disebut ‘titi-laras’, yang seringkali juga disebut ‘laras’. Meskipun demikian, istilah ‘laras’ itu sendiri, sebenarnya mempunyai arti dan makna yang bermacam-ragam. Hal ini, menjadi persoalan tersendiri. Sistem nada atau titi-laras pada gamelan Jawa, dapat digolongkan menjadi sistem tangga-nada ‘pentatonis’. Penta, artinya: ‘lima’. Tonis atau tone, artinya: ‘nada’. Meskipun, pada Tangga-nada Pelog sebenarnya ada tambahan satu nada lagi, tetapi nada yang utama pada gamelan Jawa memang berjumlah lima. 

  • Tangga-nada, dalam bahasa Jâwâ secara umum disebut laras; atau, secara lengkap disebut titi-laras. Istilah 'titi'; dapat diartikan sebagai: angka, tulis, tanda, notasi, atau lambang. Istilah ini, dapat juga berarti: pembagian, penunjuk, rincian, detail, atau bagian. Sedangkan istilah 'laras', dalam pengertian ini, berarti: nada, susunan nada, atau tangga-nada. Dengan demikian, istilah 'titi-laras', mempunyai pengertian: suatu notasi tulis, huruf, angka, atau lambang; yang menunjuk kepada rincian tanda-tanda nada, menurut suatu tangga-nada tertentu. Secara umum, dalam bahasa Indonesia, titi-laras, berarti: tangga-nada. Dalam penggunaan sehari-hari, istilah 'titi-laras' seringkali disingkat saja menjadi 'laras'. Seperti telah disinggung selintas, istilah laras mempunyai beberapa pengertian yang berbeda. Di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jâwâ, istilah laras dikenal mempunyai pengertian yang berbeda, misalnya: nyaman, enak, sesuai, tepat, nada, tangga-nada, serasi (harmonis), diberi nada, ditala pada nada tertentu. Untuk memperjelas dan memberikan gambaran betapa berbedanya makna dan pengertian kata/istilah laras itu, di bawah ini dicontohkan sejumlah besar kalimat yang dibangun menggunakan kata/istilah laras. Pada contoh kalimat-kalimat di bawah ini, kata yang diberi garis bawah, merupakan terjemahan atau arti kata/istilah laras.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Swârâ gamelan kaé, laras dirungôkaké”. Kalimat ini, berarti: “Suara gamelan itu enak didengarkan telinga”. Kalimat ini, misalnya bisa dinyatakan seseorang, jika mendengarkan suara gamelan dari kejauhan.

  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gamelan kaé laras banget swarané”. Kalimat ini, berarti: “Gamelan itu bagus atau baik sekali suaranya”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gamelan kaé ora laras swarané”. Kalimat ini, berarti: “Gamelan itu tidak enak, tidak baik, atau tidak bagus suaranya”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Wîs laras”Kalimat ini, berarti: sudah tepat, sudah sesuai, atau sudah tepat nadanya. Misalnya, pada waktu seseorang menala suatu nada tertentu, dengan cara mengacu kepada suatu nada tertentu lainnya.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Wilah kaé larasen limâ”. Kalimat ini, berarti: “Bilah itu buatlah bernada limâ (5)”. atau “Bilah itu buatlah sehingga menjadi bernada limâ (5)”. Misalnya., pada saat seseorang diminta untuk    menepatkan nada pada suatu bilah. 
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gamelané gawénen limâng laras”. Kalimat ini, berarti: “Gamelan-nya buatlah menjadi lima (5) nada”, atau “Gamelan-nya buatlah sehingga mempunyai nada berjumlah limâ buah”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Wilah kaé larasé pirâ ?”. Kalimat ini, berarti: “Bilah itu jumlah nadanya berapa ?”, atau “Bilah itu nadanya berapa buah ?”. Dalam hal ini,  mempertanyakan 'jumlah nada'.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Wilah kaé larasé âpâ ?”. Kalimat ini, berarti: “Bilah itu bertangga-nada apa ?”. Namun dalam sejumlah kasus, kalimat ini juga dapat  diartikan sebagai: “Bilah itu bernada apa ?” Dalam hal ini, mempertanyakan 'jenis tangga-nada'.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Ricikanmu kaé dilaras sîng bener”; kalimat ini berarti: instrumen musikmu itu ditala yang benar.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Laras Dhâdhâ”. Kalimat ini berarti: “Bernada dhâdhâ (bernada telu atau bernada tiga, 3)”. Pada kalimat ini, istilah laras berarti nada, dan bukannya berarti tangga-nada.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Laras Sléndro”. Kalimat ini berarti: “Bertangga-nada Sléndro”. Pada kalimat ini, istilah laras berarti tangga-nada, dan bukannya berarti nada.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Larasané apîk banget”. Kalimat ini, berarti: “Hasil penalaannya sangat baik”, atau “Hasil buatannya sangat baik”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gamelan iki larasané sapa ?”. Kalimat ini berarti: “Gamelan ini hasil buatan siapa ?”, atau “Gamelan ini hasil penalaan siapa ?”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gamelané wîs laras apa durûng ?”. Kalimat ini, berarti: “Gamelan-nya sudah tepat nada-nadanya atau belum ?”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gamelan kôk ora laras swarané”. Kalimat ini berarti: “Gamelan kok tidak bagus suaranya”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Uripmu laras”Kalimat ini, berarti: “Hidupmu santai”; “Engkau sangat menikmati hidupmu”; atau “Engkau menikmati hidupmu dengan santai, jauh dari penderitaan, kesengsaraan”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Uniné ora laras”. Kalimat ini, berarti: “Suaranya tidak sesuai”, “Suaranya tidak nyaman didengar”, “Suaranya tidak tepat”, “Nadanya meleset",    “Suaranya tidak serasi”, “Nadanya tidak tepat pada nada yang dimaksud”, “Suaranya tidak bisa dinikmati”, atau “Suaranya tidak enak dirasakan”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Gendhîngé laras karo swasanané”. Kalimat ini, berarti: “Gendhîng-nya (lagunya) sesuai sekali dengan suasananya”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Larasané gamelan apîk banget”. Kalimat ini, berarti: “Penalaan nada gamelan-nya sangat baik”.
  • Pada kalimat: “Kerîsmu larasé apîk”. Kalimat ini, berarti: “Kerîs-mu itu bentuknya (rupanya) baik (indah)”.
  • Pada kalimat: “Kerîsmu larasané apîk”Kalimat ini, berarti: “Kerîs-mu buatannya sangat baik”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Kowé laras banget karo kancamu”. Kalimat ini, berarti: “Engkau cocok sekali dengan temanmu”, atau “Engkau sesuai benar dengan temanmu”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Laras panahmu gedhé banget”. Kalimat ini, berarti: Busur panahmu besar sekali ukurannya”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Yèn dilaras-laras, kok énak tenan urîpmu”. Kalimat ini, berarti: “Jika dirasa-rasakan, hidupmu kok enak sekali”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Coba larasen nganti bener”. Kalimat ini, berarti: “Cobalah ditala sampai benar”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Dilaras ngétan, malah mlayu ngulôn”. Kalimat ini, berarti: Diajak ke timur, malah lari ke barat”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Kéwan kuwi disebût ayam laras”. Kalimat ini, berarti: “Hewan itu disebut ayam hutan”.
  • Pada kalimat yang berbunyi: “Sléndhang cindhé laras kae duwèké sâpâ ?”. Kalimat ini, berarti: “Selendang sutera yang indah itu milik siapa ?”.


Sebagian besar ricikan gamelan, menggunakan bilah-bilah nada berbahan logam sebagai sumber pembangkit bunyi (nada). Tetapi ada juga yang menggunakan bahan bukan logam. Misalnya, menggunakan kayu atau batang bambu.


Dari sejumlah contoh kalimat tersebut di atas, dapat dirasakan betapa berbedanya dan betapa banyaknya pengertian atau arti kata laras. Dalam pembahasan selanjutnya, pengertian laras, dibatasi pengertiannya menjadi ‘tangga-nada’ atau ‘nada’; kecuali jika dinyatakan lain.

Jika kita cermati, mungkin saja istilah laras ini dahulu digunakan untuk membedakan sesuatu suara, nada, atau warna suara yang terdengar ‘enak di telinga’ dengan yang terdengar ‘tidak enak terdengar di telinga’. Ini dimungkinkan  karena istilah laras itu sendiri, sebagian besar artinya sangat berkait erat dengan sesuatu yang bersifat/bermakna indah, enak dilihat, enak didengar, enak dirasakan, menarik, cantik, atau makna-makna lainnya yang masih berhubungan dekat dengan hal itu.

Selanjutnya, penalaan nada-nada pada gamelan Jâwâ, yang bersifat ‘penta-tonis’ (terdiri dari lima nada) itu, secara garis besar mengenal dua macam titi-laras atau laras (tangga-nada); yaitu:

  • Titi-laras Sléndro. Selanjutnya penyebutannya disingkat menjadi Laras Sléndro (bertangga-nada Sléndro).
  • Titi-laras Pélôg. Selanjutnya penyebutannya disingkat menjadi Laras Pélôg (bertangga-nada Pélôg).

Jika ditinjau dari frekuensi penggunaannya, untuk iringan berbagai jenis pagelaran tertentu, kedua tangga-nada ini mempunyai perbandingan penggunaan yang berbeda.

  • Pada pagelaran Wayang Kulît Pûrwâ dan Wayang Wông (wayang orang); lebih banyak menggunakan gendhîng-gendhîng Laras Sléndro dibandingkan dengan gendhîng-gendhîng Laras Pélôg. Dengan demikian, penggunaan Laras Sléndro, bersifat lebih dominan.
  • Pada pagelaran Wayang Gedhôg, Wayang Madyâ, Wayang Golèk, serta Wayang Bèbèr, lebih banyak digunakan gendhîng-gendhîng Laras Pélôg. Dengan demikian, penggunaan Laras Pélôg, bersifat lebih dominan. Bahkan beberapa di antara pagelaran itu, sama sekali tidak menggunakan Gamelan Laras Sléndro. Misalnya, pada Pagelaran Wayang Bèbèr.

  • Pada pagelaran uyôn-uyôn, klenèngan, atau pagelaran lainnya; penggunaan kedua laras itu dapat dikatakan sebanding; atau, disesuaikan dengan kesenangan atau kebutuhan.

Secara umum, kedua laras tersebut mempunyai perbedaan sifat (karakter). Perbedaan sifat ini, akan menghasilkan perbedaan suasana dan kesan yang ditimbulkan pada saat gamelan ber-laras tertentu itu digunakan untuk memainkan suatu gendhîng tertentu.

  • Laras Sléndro. Secara umum, menghasilkan suasana yang bersifat ringan, riang, gembira, dan terasa lebih ramai. Karenanya, banyak adegan perang, perkelahian, baris, diiring dengan gendhîng Laras Sléndro. Tetapi pada  komposisi dan permainan nada-nada tertentu,  penggunaan Laras Sléndro dapat memberikan kesan lain, yaitu: sendu, sedih, atau romantis. Misalnya, pada gendhîng-gendhîng yang menggunakan Laras Sléndro Barang Mirîng. Nada barang mirîng ini, adalah nada Laras Sléndro yang secara sengaja dibunyikan tidak tepat pada nada-nadanya. Karenanya, banyak adegan rindu, bercinta, kangen, sedih, sendu, kematian, merana, atau meratap; diiring menggunakan gendhîng yang ber-Laras Sléndro Barang Mirîng. Karena kemampuannya untuk membentuk dua kesan yang bertolak-belakang itu, maka gamelan Laras Sléndro bersifat lebih universal; dan karenanya, lebih banyak digunakan orang. Laras Sléndro, pada dasarnya terdiri dari lima nada, karenanya dikategorikan sebagai 'penta-tonis'.
  • Laras pélôg. Secara umum, menghasilkan suasana yang bersifat sereng; memberikan kesan gagah, agung, keramat, dan sakral; khususnya pada permainan gendhîng-gendhîng yang menggunakan Laras Pélôg bem. Karenanya, banyak adegan persidang agung yang menegangkan, adegan masuknya seorang raja ke dalam sanggar pamelengan  (tempat pemujaan), adegan marah, adegan yang menyatakan sakit hati, atau adegan yang menyatakan dendam; diiring menggunakan Gendhîng Laras Pélôg Bem. Tetapi pada  permainan nada-nada tertentu, Laras Pélôg dapat juga memberikan kesan gembira, ringan, dan semarak. Misalnya, pada gendhîng-gendhîng yang dimainkan pada Laras Pélôg Barang. Laras Pélôg, pada dasarnya bisa dibagi menjadi dua golongan, yaitu Laras Pélôg Bem dan Laras Pélôg Barang; yang masing-masing sebenarnya juga terdiri dari lima nada utama; karenanya juga dikategorikan sebagai 'penta-tonis'; dengan catatan, pada tangga-nada ini, terdapat satu nada tambahan, yaitu laras papat (nada empat, 4), yang pada kasus-kasus tertentu (tidak selalu), bisa digunakan untuk  ‘menggantikan’ laras dhâdhâ (nada tiga, 3).

Baik Laras Sléndro, maupun Laras Pélôg, masing-masing mempunyai susunan nada-nada tertentu. Dalam hal ini, tanda lambang, penyebutan, singkatan, dan notasinya berbeda. Dalam berbagai buku pedoman, sistem notasi yang digunakan untuk berbagai penjelasan dan contoh, penulisannya mengacu kepada pembakuan sistem ‘Kepatihan’, yang juga disebut sistem ‘Wanûswârâ’ (Wanuswara). Sistem notasi ini, pertama kali diperkenalkan oleh K.R.M.T. Wreksâdinîngrat dari Surâ-Kartâ (Surakarta), pada sekitar tahun 1910. 




Sumber pembangkit bunyi atau nada, juga bisa berbentuk 'bunder', yang artinya: bulat atau bundar. Karena bentuknya bulat, maka bendanya sering disebut 'bunderan', yang artinya: bulatan, atau bundaran.


Dalam sistem ini, nada-nada dilambangkan dengan ‘angka’ (Inggris: digit) tertentu, berupa angka Arab. Sistem ini, pada masa sekarang merupakan satu-satunya sistem notasi yang paling banyak diterima dan digunakan orang; karena sangat mudah dipahami. Karenanya, pemakaiannya di kalangan masyarakat menjadi sangat luas. Istilah  wanuswârâ; berasal dari gabungan dua kata yaitu kata 'wanu' dan kata 'swârâ'. Kata 'wanu' atau 'wanûh'; artinya: kenal, paham, mengenal, mengerti, memahami, mengetahui, dimengerti, dikenal, atau dipahami. Sedangkan istilah 'swârâ', berarti: suara atau nada. Dengan demikian, istilah 'wanuswârâ' mempunyai pengertian: mengenal suara atau mengenal nada. 


Contoh notasi gendhing di atas, menggambarkan bahwa notasi nada 3 (gambar atas), sebenarnya dalam kondisi tertentu, bisa digantikan menggunakan nada 4 (gambar bawah). (Sumber: Gambar oleh petulis).



Seperti sudah dijelaskan selintas, khusus pada Laras Pelôg (tangga-nada Pelôg); Laras Dhâdhâ (nada tiga, 3), dan Laras Papat atau Laras Pelôg (nada empat, 4); pada dasarnya bersifat bisa saling  menggantikan. Hal ini, misalnya bisa dilihat pada  contoh notasi balungan gendhîng pada gambar diagram di atas. Meskipun demikian, tidaklah semua notasi balungan gendhîng yang menggunakan Laras Dhâdhâ (nada tiga, 3) layak, pantas, atau sesuai; jika digantikan dengan Laras Papat atau Laras Pélôg (nada empat, 4). Pengubahan atau penggantian nada ini, umumnya lebih dilandasi ‘alusîng râsâ pârâ panjak’ (kehalusan perasaan para pemain).

Suatu tangga-nada selalu berdasar suatu susunan nada-nada tertentu. Demikian pula yang berlaku pada Gamelan Jawa; yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tangga-Nada Slendro, atau Titi-Laras Slendro, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Laras Slendro; serta Tangga-Nada Pelog, atau Titi-Laras Pelog, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Laras Pelog. Karena pada dasarnya kedua tangga-nada tersebut didasarkan atas lima nada utama, maka Gamelan Jawa lalu disebut bernada 'penta-tonis'. Istilah 'penta', artinya: lima. Istilah 'tonis', artinya: nada. Meskipun demikian, keajaiban Gamelan Jawa, justru terletak pada Gamelan Laras Slendro, yang ternyata mempunyai kemungkinan menghasilkan nada-nada 'minor', yang disebut 'miring' atau 'nada miring' (nada yang tidak tepat atau tidak sesuai). Karenanya, lalu dikenal adanya tangga-nada khas lain, yang hanya terdapat pada Laras Slendro, yaitu 'Laras Slendro Barang Miring'.






Tidak ada komentar:

PATHET: PENJELAJAHAN MANUSIA SAAT MENITI KEHIDUPAN DAN WAKTU

  Bram Palgunadi Ya betul. Memang kenyataannya, ada hubungan yang amat sangat erat, antara kehidupan manusia dan waktu; dengan 'pathet...