02 Oktober, 2023

DHALANG DAN PERANNYA


Bram Palgunadi


Dhalang, merupakan tokoh sentral dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa (wayang kulit parwa). Sedemikian kuat dan sentralnya peran tokoh ini, sehingga ia dapat meminta dan berbuat apa saja ibaratnya. Bahkan, dalam hal kekuasaannya terhadap tokoh-tokoh wayang yang dimainkannya, ia berhak melakukan apa saja, yang berhubungan dengan cerita atau 'lakon' yang sedang ditampilkannya, termasuk melakukan pengubahan cerita, melakukan modifikasi cerita, mengubah peran, menampilkan penokohan yang khas, memerintahkan para penabuh gamelan dan para pendukungnya untuk melakukan sesuatu, dan berbagai hal lainnya. Meskipun sedemikian luas kekuasaannya, semua kekuasaan itu dibatasi oleh konteks pagelaran dan cerita yang dibawakannya. Hal inilah yang dengan segera akan membedakannya dengan peri-laku dan kebiasaan sehari-hari seorang dhalang. Artinya, segala kekuasaan yang nyaris tak berbatas itu, hanya dilakukan di atas panggung pagelaran, dan sama sekali tak berlaku di luar urusan pagelaran wayang itu.


Wayang semestinya diperkenalkan lebih awal pada anak-anak, sebelum mereka mengenal berbagai budaya lainnya.


Dhalang dan perannya

Selain berbagai peran yang dilaksanakan oleh para panjak, juga dikenal satu peran lagi yang bersifat sangat dominan atau penting; yaitu dhalang. Di jaman dahulu, seorang dhalang juga berperan sebagai shaman, dhukûn, atau pawang. Di beberapa daerah, dhalang seringkali juga disebut panjak dhalang. Istilah ini, sebenarnya agak kurang tepat; karena pengertian panjak dhalang adalah orang yang membantu dhalang dalam melakukan tugasnya; atau, sekelompok pemain ricikan gamelan yang mengiringi permainan wayang yang dilakukan oleh dhalang

Seorang dhalang, adalah seorang yang mempunyai banyak keahlian; misalnya : ahli memainkan wayang, akhli musik, akhli menata komposisi musik/lagu, akhli mengatur dinamika pagelaran, akhli mengatur suasana pagelaran, akhli mengatur dinamika permainan seni karawitan, akhli filsafat, akhli dalam berbagai ilmu pengetahuan, akhli komunikasi masa, akhli bercerita, akhli dalam membuat, menggarap, dan menjabarkan skenario cerita, akhli seni suara, akhli dalam memerankan setiap tokoh wayang yang dimainkannya, akhli seni drama/teater, akhli bahasa, akhli dalam melakukan pendistribusian dan pembagian waktu, dan sejumlah keakhlian lainnya. Selain itu, ia juga harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas. Seorang dhalang, juga harus cepat tanggap dan peka terhadap kondisi lingkung sekitarnya. 

Karena seorang dhalang, tugas utamanya adalah memainkan wayang, maka ia juga harus menguasai peran dan sifat setiap tokoh wayang yang hendak dimainkannya. Ia dengan cepat harus bisa mengubah jenis suara, tingi-rendah nada suara, warna suara, lagak-lagu, perangai, peri-laku, dan suasana yang dikehendaki pada setiap babak atau adegan, selama pagelaran wayang berlangsung. Peran seorang dhalang yang sangat penting adalah bertindak sebagai pemimpin para panjak, pemimpin permainan musik atau konduktor, dan sekaligus juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi pada pagelaran wayang; terutama pada pagelaran wayang kulît. Dengan demikian, seorang dhalang merupakan seorang tokoh pusat (tokoh sentral), yang harus diikuti semua perintah dan kemauannya. Ia merupakan pemimpin tunggal pagelaran wayang, dari sejak awal hingga pagelaran selesai.

Pada jaman dahulu, seorang dhalang juga bertindak sebagai shaman, dhukûn, atau pawang. Karena perannya yang sedemikian berat itu, maka seorang dhalang seringkali membekali dirinya tidak saja dengan kekuatan dan ketahanan fisik (jasmaniah); melainkan juga dengan kekuatan batin atau rohani (supranatural). Pendek kata, seorang dhalang haruslah seorang yang 'sekti mândrâgunâ’ (sakti, memiliki banyak ilmu dan berpengetahuan luas). Peran dhalang sebagai dhukûn, pawang, atau shaman; pada masa sekarang sudah banyak berkurang. Meskipun demikian, sisa-sisa perannya sebagai dhukûn, pawang, atau shaman ini masih dapat kita temukan pada pagelaran wayang yang dilakukan dengan tujuan melaksanakan upacara ritual ruwatan, merti désâ, atau bersih désâ.


Ini merupakan contoh suatu pagelaran wayang kulit purwa, yang dilaksanakan oleh Ki Rasito Lebda Carita, di Bandung.


Keahlian dan kekhasan dhalang

Kenyataannya, dhalang seringkali dikenal orang berdasar keakhlian atau kekhasan tertentu yang dimilikinya. Jenis keakhlian atau kekhasan tertentu ini, akhirnya berdampak pada penambahan suatu sebutan khas di belakang sebutan dhalang. Misalnya : dhalang ruwat, dhalang sastrâ, dhalang sabet, dhalang kethèk, dhalang wejang, dhalang gecûl, atau dhalang jantûr.


Dhalang ruwat

Adalah dhalang yang mempunyai keakhlian melaksanakan berbagai upacara ritual adat ruwatan. [1] Seorang dhalang ruwat, biasanya sudah berumur cukup tua (biasanya sudah berumur lebih dari 50 tahun), menguasai berbagai hal tentang tata cara melakukan upacara ritual adat ruwatan, luas wawasannya, banyak ilmu pengetahuannya; dan yang terpenting, ia merupakan keturunan dhalang ruwat. Perihal keturunan (silsilah) ini, seringkali dinyatakan (diucapkan dan diceritakan) oleh dhalang yang bersangkutan dalam pagelaran yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwatan; dengan cara menyisipkan berbagai informasi/keterangan tentang silsilah ini dalam bentuk dialog antar tokoh wayang. Hal ini, biasanya dilakukan pada saat terjadi dialog antara tokoh Bathârâ Kâlâ [2] dengan tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ [3]; atau antara tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ dengan tokoh mbôk rândhâ Dhadhapan [4], (janda tua dari desa Dhadhapan).

Dalam hal ini, biasanya dhalang bercerita tentang silsilah keluarga dan jati dirinya secara tidak langsung, yakni melalui pembicaraan tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ; seakan-akan tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ yang sedang dimainkannya itu adalah dirinya. Dengan demikian, dhalang ruwat yang bersangkutan mempersonifikasikan dirinya sebagai Dhalang  Kândhâ Buwânâ. Dengan cara ini, penonton diberi tahu tentang jati diri dan silsilah dhalang ruwat yang bersangkutan. Pernyataan yang berkait erat dengan persoalan silsilah ini, oleh sejumlah dhalang dianggap penting, karena dapat digunakan sebagai penguat pernyataan bahwa ia memang benar-benar seorang dhalang ruwat, yang mempunyai nenek--moyang juga dhalang ruwat; dan karenanya mempunyai kewenangan untuk memimpin dan melaksanakan upacara ritual adat ruwatan.

Pada masa sekarang, pernyataan silsilah dhalang seperti yang sudah dijelaskan di atas, meskipun masih banyak digunakan sebagai penguat pernyataan; tetapi disebabkan terjadinya perubahan pola pengajaran pedhalangan (pendidikan untuk menjadi dhalang); sudah mulai ditinggalkan orang. Orang tidak lagi memandang seorang dhalang ruwat dari segi silsilahnya, melainkan lebih banyak ditinjau dari segi keakhlian dan keterampilannya. Dhalang masa sekarang, harus menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, pendidikan, dan teknologi. Demikian pula berbagai pendekatan, cara melaksanakan, dan cara mengemukakan berbagai argumentasi yang digunakan untuk upacara ritual adat ruwatan, harus diubah dan disesuaikan dengan berbagai ‘pola pemikiran baru’; yang bersifat lebih rasional, masuk akal, serta lebih mudah diterima akal oleh penonton yang juga lebih berpendidikan. Pengetahuan dan kemampuan untuk menterjemahkan hakekat filsafat ruwatan kepada penonton, menjadi jauh lebih penting jika dibandingkan dengan persoalan silsilah. Karena digunakan untuk pelaksanaan upacara ritual adat ruwatan, maka cerita atau lakon yang dibawakan oleh dhalang ruwat, biasanya juga sangat khas, misalnya : Mûrwâ Kâlâ, Sudâ Mâlâ, Dûrgâ Ruwat, Sri Mulîh, atau Sri Sadânâ.


Dhalang tiban

Adalah seorang dhalang yang dipercayai oleh masyarakat di sekelilingnya sebagai orang yang memperoleh pengetahuan dan ilmu pedhalangan secara tidak lazim. Ada kepercayaan di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jâwâ, tentang adanya sejumlah dhalang yang tidak pernah belajar memainkan wayang pada seorang guru atau dhalang lainnya; tetapi tiba-tiba ia dapat melakukan pagelaran wayang (khususnya pagelaran wayang kulît purwâ), khususnya yang berkait erat dengan pelaksanaan upacara ritual tradisional ruwatan. Hal ini, sangat jarang terjadi. Di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jâwâ, hal ini dipercayai sebagai karunia yang diberikan Tuhan terhadap dhalang yang bersangkutan dan terhadap lingkung, desa, atau kelompok masyarakat di sekelilingnya. Seorang dhalang tiban, biasanya hanya melakukan tugas melaksanakan upacara ritual adat ruwat désâ, ruwatan merti désâ, ruwatan bersih désâ, [5] ruwat kebôn, [6] atau ruwat sedhekah bumi; [7] dan tidak melaksanakan pagelaran lainnya. Upacara ritual adat ruwat désâ untuk satu desa tertentu, umumnya hanya dilakukan setahun sekali, biasanya setelah panen raya selesai dilaksanakan. 

Pada sekitar tahun 1982; dalam rangka pelaksanaan survei lapangan untuk pengumpulan data yang hendak digunakan penulis bagi penyusunan skripsi, [8] penulis pernah menyaksikan pagelaran wayang kulît purwâ gagrak Pesisiran, di desa Dhadhap Ayam. Desa kecil ini, berjarak sekitar 15 km ke arah timur kota Sâlâ-Tigâ (Jawa-Tengah), di sebuah wilayah pedalaman yang bergunung-gunung. Pagelaran wayang kulît purwâ ini, dilaksanakan dalam rangka upacara ritual adat bersih désâ. Pelaksanaan pagelaran wayang kulît purwâ tersebut, dimainkan oleh seorang dhalang tua (pada saat itu, dhalang ini sudah berumur sekitar 80 tahun), yang oleh masyarakat setempat dipercayai sebagai dhalang tiban. Dhalang tua tersebut, hanya melakukan pagelaran wayang kulît purwâ sebanyak sekali dalam setahun, yakni dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat bersih désa di desanya, yaitu desa Dhadhap Ayam; dan tidak melakukannya di desa-desa lain di sekitarnya. Pengiring pagelaran wayang tersebut, adalah para panjak (nayâgâ, pesindhèn, wirâ swârâ) setempat, yang juga bertempat tinggal di desa Dhadhap Ayam.

Pagelaran wayang kulît purwâ yang dilaksanakannya, menggunakan pedhalangan [9] gagrak [10] Pesisîr; yang secara selintas seperti gabungan antara pedhalangan gagrak Mataram (gaya Yogyâkartâ) dengan pedhalangan gagrak Surâkartâ. Pada pedhalangan gagrak Pesisîr, banyak digunakan céngkôk (lekuk-liku) suara atau lagu yang bernada Sléndro Barang Mirîng [11] (bernada minor). Sedangkan pola jantûran [12] dan ântâwacânâ [13] yang digunakan, menggunakan pedhalangan gagrak Mataram gaya lama [14] yang sangat khas. Dalam hal penyebutan nama kerajaan tertentu, digunakan banyak istilah yang tidak mengacu kepada pakem Mâhâ Bharâtâ; melainkan lebih mengacu kepada sebutan kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Jâwâ pada masa lalu. Misalnya, kerajaan Dwârâwati, disebut Jenggâlâ Manîk. [15]

Pada pagelaran wayang tersebut, pola dan cara membunyikan ricikan keprak, dilakukan menurut pola pedhalangan gagrak Mataram; [16] tetapi jenis ricikan keprak yang digunakan, jelas mengacu kepada ricikan keprak yang biasa digunakan pada pedhalangan gagrak Surâkartâ. [17] Sedangkan iringan karawitan atau gamelan-nya, lebih mengacu kepada karawitan gagrak Surâkartâ; kecuali pada permainan vokalnya yang menggunakan gagrak (gaya) Pesisîr. Dalam hal bahasa pengantar yang digunakan dalam pagelaran wayang tersebut, menggunakan bahasa Jâwâ Kawi yang bercampur dengan bahasa Jawa-Tengahan; [18] yang bagi kalangan masyarakat suku-bangsa Jâwâ umumnya, akan terasa agak kasar (tidak halus). Bahasa ini, digunakan untuk jantûran, ântâwacânâ, dan sulûk. [19] Sedangkan jenis sulûk yang digunakan, jelas menggunakan jenis sulukan pedhalangan gagrak Pesisîr; yang banyak menggunakan pengulangan kata atau pengulangan kalimat; serta seringkali menggunakan pola jineman [20] atau dilagukan dengan iringan permainan karawitan atau ricikan gamelan.


Dhalang sabet

Adalah dhalang yang mempunyai keahlian, keterampilan, atau kemahiran khusus dalam bidang memainkan gerak wayang. Gerak wayang, dalam bâsâ Jâwâ (bahasa Jâwâ) disebut sabetan wayang. Istilah ini, seringkali juga digunakan untuk menyebut keakhlian menggerakkan wayang (terutama jenis wayang kulît). Sedangkan kegiatan menggerakkan wayang, disebut nyabetaké wayang. Pengetahuan tentang sabetan wayang ini, biasanya disebut kawrûh sabetan wayang (pengetahuan tentang menggerakkan wayang). Dhalang yang mempunyai keakhlian sabetan wayang, biasanya bisa menghasilkan gerak wayang sedemikian rupa, sehingga wayang tersebut seakan-akan benar-benar hidup.

Pada masa sekarang, sabetan wayang merupakan bagian dasar yang wajib dan harus dipelajari oleh seorang calôn dhalang, di pagurôn dhalang, yakni perguruan tempat pendidikan dhalang; atau, pagurôn pedhalangan, yakni perguruan tempat seseorang belajar tentang kawrûh (ilmu pengetahuan) pedhalangan. Proses belajar menjadi dhalang ini, selain dilakukan di pagurôn (perguruan) yang pada masa sekarang umumnya sudah bersifat formal; juga bisa dilakukan di padhépôkan, yang lebih bersifat kurang formal; atau dengan cara meguru (berguru) pada seseorang (misalnya, pada seorang dhalang). Dhalang sabet, biasanya membawakan cerita atau lakôn yang ramai, penuh pertempuran, perkelahian, atau penuh adegan laga. Ini sangat sesuai dengan kemahiran dan keterampilannya dalam memainkan wayang. Misalnya, Kângsâ Adu Jago, Rahwânâ Gugûr, Brubûh Ngalengkâ, Rebût Kikîs Tunggârânâ, Gathûtkâcâ Madeg Ratu, Aswâtâmâ Nglandhak, Pari Kesît Dadi Ratu, Suyudânâ Lénâ, atau Bharâtâ Yudhâ.


Dhalang sastra

Adalah dhalang yang mempunyai keakhlian, keterampilan, atau kemahiran khusus dalam bidang kosa kata, tata bahasa, dan penguasaan bahasa sastra. Pengetahuan tentang berbagai hal ini, biasanya disebut kawrûh sastrâ pedhalangan (pengetahuan tentang bahasa pedhalangan). [21] Dhalang semacam ini, biasanya sangat menguasai sejumlah besar kosa kata dalam bâsâ (bahasa) Jâwâ-Kawi, bâsâ (bahasa) Jâwâ-Tengahan, bâsâ (bahasa) Jâwâ-Kunâ, bâsâ (bahasa) Bagôngan, bâsâ (bahasa) Sansekerta, bâsâ (bahasa) Jâwâ masa sekarang, serta mungkin sejumlah bahasa daerah atau bahasa asing lainnya; beserta kemampuan tata bahasa, tingkat, dan berbagai aturan/hirarki penggunaannya. Pada masa sekarang, sastrâ pedhalangan merupakan bagian dasar yang wajib dan harus dipelajari oleh seorang calôn dhalang, di pagurôn dhalang, yakni perguruan tempat pendidikan dhalang; atau, pagurôn pedhalangan, yakni perguruan tempat seseorang belajar tentang kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan). Ada juga semacam kecenderungan pada sejumlah dhalang sastrâ untuk menampilkan dan mengexploitasi berbagai kemampuan yang berhubungan dengan syair, sajak, tata bahasa,tata krama penggunaan kata/bahasa, akar kata, arti kata, asal kata, permainan kata-kata, atau pembicaraan. Dhalang sastrâ, umumnya juga sangat menyukai untuk membawakan cerita atau lakôn yang banyak mengexpoitasi kalimat atau kata-kata. Cerita seperti ini, dalam situasi sehari-hari seringkali setara dengan peristiwa politik, perselisihan, atau perundingan politik; misalnya: Balé Sigâlâ-gâlâ, Kresnâ Gugah, Kâlâ Bendânâ Lenâ, atau Pandhâwâ Dhadhu.



Dhalang wejang

Adalah dhalang yang mempunyai keakhlian khusus dalam bidang falsafah dan ajaran budi pekerti. Dhalang semacam ini, biasanya banyak memberikan pelajaran tentang kehidupan  kehidupan yang dibawakan, seringkali juga banyak berkait erat dengan falsafah kehidupan manusia. Biasanya, dhalang wejang merupakan orang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang sangat dalam dan luas; sehingga ia dengan mudah bisa menjelaskan inti cerita, falsafah, hakekat, dan nasehat dengan argumentasi yang baik dan mudah dimengerti oleh penontonnya.

Penggemar atau penonton dhalang wejang, umumnya adalah kelompok orang yang sudah dewasa, sudah berumur, atau sudah tua. Mereka ini, biasanya merupakan kelompok orang yang sudah mengenyam asam-garam kehidupan. Dalam banyak kasus, kelompok orang yang sudah memasuki masa tua ini, biasanya juga mulai lebih sering memperbincangkan, atau mengingat-ingat seluruh perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Dhalang wejang, seringkali berusaha membawa penontonnya, untuk mengingatkan kembali berbagai peristiwa yang telah diperbuat oleh seseorang; dan seringkali juga mengajak mereka untuk merenungkan apa saja peristiwa yang baik, yang seharusnya dipertahankan, dilestarikan, atau diperbanyak; serta yang seharusnya ditinggalkan. 

Cerita yang dibawakan, umumnya dipilih sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepandaian dan kemahiran dhalang. Karenanya, dhalang wejang umumnya memilih untuk membawakan cerita-cerita yang dramatis, menyentuh perasaan, romantis, penuh filsafat kehidupan, mengingatkan kepada berbagai peristiwa yang menyedihkan, membuat orang terharu, membuat orang menjadi disadarkan atas segala perbuatannya, atau membuat orang ingat akan perbuatan yang pernah dilakukannya. Cerita atau lakon yang bersifat seperti ini, misalnya: Sâmbâ Juwîng, Gojali Sutâ, Bîsmâ Gugûr, Sintâ Ôbông, Ranjaban (Abimanyu Gugûr), Sukâsrânâ Lenâ, Arjunâ Sasrâ Bahu, Karnâ Tandhîng, Gathûtkaca Gugûr, Déwa Ruci, Bimâ Suci, Sintâ Cinidrâ, Jatayu Gugûr, atau Kumbâ Karnâ Lenâ.   


Dhalang kethek

Adalah dhalang yang mempunyai kemahiran atau keterampilan khusus dalam bidang sabetan wayang kethèk, yakni memainkan wayang yang mewakili berbagai tokoh kethèk (kera, monyet). Wayang jenis kethèk (kera) ini, biasanya berukuran lebih kecil, lebih pendek, dan tentu saja lebih ringan, jika dibandingkan dengan wayang lainnya yang menggambarkan tokoh-tokoh manusia; karenanya dhalang kethèk bisa memainkannya secara lebih lincah, dan dalam jumlah yang lebih banyak pada waktu yang bersamaan. Meskipun seorang dhalang kethèk sebenarnya memainkan wayang jenis kethèk ini satu persatu atau bergantian; tetapi karena keakhliannya itu, maka wayang-wayang yang berjumlah agak banyak itu (biasanya berjumlah lebih dari empat wayang), bisa terlihat sebagai bergerak secara bersamaan. Adegan seperti ini, biasanya diperagakan pada saat adegan peperangan misalnya, antara pasukan kera dengan pasukan raksasa.

Karena keakhliannya itu, dhalang kethèk biasanya lebih suka membawakan cerita atau lakôn yang berasal dari pakem Râmâyânâ; khususnya yang bagian-bagian dari cerita yang sebagian besar tokoh-tokohnya adalah kera. Cerita atau lakôn yang lazim dibawakan, misalnya: Râmâ Tambak, Anôman Dutâ, Anôman-Anggâdâ, Sugriwâ-Subali, Cupu Manîk Astâ Ginâ, Rahwânâ Gugûr, atau Kumbâ Karnâ Gugûr.


Dhalang gecul

Adalah dhalang yang mempunyai keakhlian atau kemahiran dalam bidang humor, melucu, jenaka, dan membuat penonton menjadi senang, tertawa terpingkal-pingkal, atau membuat suasana menjadi gembira. Bagi dhalang seperti ini, hampir semua adegan bisa dibuat bersuasana jenaka. 

Karena keakhliannya itu, maka dhalang seperti ini biasanya juga lebih suka memilih cerita atau lakôn yang lucu, jenaka, dan tidak terlalu serius; atau memilih cerita atau lakôn yang bersifat carangan (cerita karangan, saduran, atau buatan) yang umumnya tidak mengikuti pakem Wayang Pûrwâ Jâwâ, pakem Râmâyânâ atau pakem Mâhâ Bharâtâ. Misalnya, cerita : Pétrûk Dadi Ratu, Nala Garèng Dadi Ratu, Bagông Dadi Ratu, Semar Ilang, atau Bâdrânâyâ Tumbal.


Dhalang jantur

Adalah dhalang yang mempunyai keahlian atau kemahiran
dalam mengolah dan mengembangkan cerita. Dhalang seperti ini, biasanya sangat mahir dalam mengolah, mengapresiasi, melogikakan cerita, dan mengembangkan cerita sedemikian
rupa, sehingga seringkali cerita tersebut bisa berubah alur, berubah penekanan (berubah ‘plot’) ceritanya, berubah penokohannya, atau berubah pemahamannya. [22] Karena kemahirannya itu, dhalang jantûr biasanya menyukai cerita-cerita yang bersifat dramatis, cerita yang banyak mengexploitasi satu tokoh, atau cerita yang berhubungan dengan peri-laku manusia atau tokoh tertentu. Misalnya cerita atau lakon Bomâ Nârâ Surâ, Gojali Sutâ, Sâmbâ Juwîng, Gathûtkâcâ Nagîh Janji, Bâdrânâyâ-Téjâmantri, Kunthi Nalibrâtâ, Karnâ Takon Bâpâ, Sumantri Lénâ, atau Pandhâwâ Mukswâ.



Belajar memainkan wayang kulit, atau belajar menjadi dhalang, bisa dilakukan sejak masih anak-anak.


Asal keahlian dhalang

Pada masa sekarang, berbagai kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan), dan berbagai kemahiran dhalang dalam memainkan wayang, biasanya bisa dicapai melalui beberapa cara atau pola yang berbeda; misalnya:

a. Meguru. Adalah belajar tentang sejumlah kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan), yang dilakukan dengan cara berguru (biasanya secara tidak formal) kepada seorang dhalang lain; yang dipandang mempunyai kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan) yang luas. Dalam hal ini, pendalaman yang dilakukan umumnya lebih bersifat teoritis dan teknis. Berguru, biasanya dilakukan secara perorangan, oleh orang yang sama sekali belum mempunyai kawrûh pedhalangan. Pola ini, yang paling lazim, biasanya dilakukan secara perorangan/personal, sehingga bisa bersifat sangat intensif. Dengan cara ini, kemahiran seseorang bisa meningkat secara pesat dalam waktu yang relatif singkat. 

Meguru, lazimnya dilakukan oleh seorang dhalang yang bertindak sebagai 'guru', kepada seorang, atau sekelompok siswa calon dhalang. Pelajarannya sangat beragam. Biasanya terdiri dari berbagai kawruh pedhalangan yang bersifat teoretis, teknis, praktis, dan filosofis.

b. Nyantrîk. Adalah belajar tentang sejumlah kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan), yang dilakukan dengan cara adalah belajar pada seorang guru, dhalang lain, atau orang yang dianggap mempunyai kawrûh pedhalangan, dengan tujuan memperluas dan memperdalam kawrûh (pengetahuan) dan wawasan yang sebelumnya telah dimiliki. Dalam hal ini, pendalaman yang dilakukan umumnya lebih bersifat teoritis dan filosofis. Pola ini, biasanya dilakukan secara perorangan; atau, dilakukan oleh beberapa orang sekaligus. Dengan dalam waktu yang relatif singkat.

Nyantrik, lazimnya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa calon dhalang, pada seorang dhalang, yang diperlakukan sebagai patokan, acuan, pedoman, atau referensi. Apa yang dilakukan, biasanya merupakan proses memperhatikan, meniru, mempraktikkan, dan memperdalam; atas berbagai hal, yang dilakukan oleh dhalang yang diperlakukan sebagai acuan.

c. Magang. Adalah belajar tentang suatu kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan), yang dilakukan dengan cara memperhatikan, mempelajari, dan mengamati, apa yang dilakukan oleh seorang dhalang yang sudah lebih mahir dalam memainkan wayang; kemudian secara bertahap dan perlahan lahan, disesuaikan dengan tingkat kemahiran yang sudah dikuasai, orang yang sedang belajar harus berusaha untuk menggantikan orang yang diamatinya. Cara magang, biasanya lebih banyak berhubungan dengan berbagai hal yang lebih menekankan pada segi dilakukan secara perorangan atau oleh sekelompok kecil, sehingga bersifat sangat
intensif. Dengan cara ini, kemahiran dan keterampilan seseorang bisa meningkat secara pesat dalam waktu yang relatif singkat; terutama dalam berbagai hal yang bersifat
teknis.

Magang, biasanya dilakukan oleh seorang calon dhalang atau sekelompok calon dhalang, yang sudah mempunyai dasar kawruh pedhalangan; guna mengembangkan kemampuan dan keterampilan dirinya; dengan cara memperhatikan, menirukan, dan mengembangkan suatu kawruh pedhalangan tertentu, sehingga mereka menjadi mahir dan terampil.

d. Ajar dhéwé. Adalah belajar secara mandiri (Inggris: self study), yang dilaksanakan untuk menguasai suatu kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan); tanpa bantuan pelatih, guru, atau orang lain. Karena dilakukan sendiri, biasanya kemahirannya didapat setelah melampaui kurun waktu yang cukup panjang. Selain itu, ada juga kesulitan tersendiri, yaitu sampai saat ini sangat sedikit buku-buku yang membahas tentang kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan), yang bisa digunakan untuk keperluan belajar sendiri.

f. Tiban. Adalah suatu proses mendapatkan suatu kemahiran atau keterampilan tentang kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan) yang didapat tanpa bantuan siapapun. Mereka yang dikaruniai kemampuan ini, umumnya kemudian disebut dhalang tiban. Tidak jelas benar bagaimana cara dan penyebabnya; seseorang yang sehari-harinya dikenal oleh orang-orang yang tinggal di sekelilingnya sebagai seorang yang biasa saja, tiba-tiba bisa bertindak sebagai dhalang dan memainkan wayang serta melakukan pagelaran wayang semalam suntuk begitu saja. Karena prosesnya yang tidak jelas inilah, kemudian timbul istilah dhalang tiban; yang artinya kemampuannya didapat seperti jatuh dari langit saja. [23] 

Bagaimanapun baik dan bagusnya sistem pengajaran yang diterapkan dan diterima oleh seseorang yang mempelajari suatu kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan); sudah barang tentu besar-kecilnya porsi waktu yang digunakan untuk latian (berlatih), akan sangat memegang peran dalam menaikkan tingkat kemahiran seseorang dalam menguasai berbagai kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan). Semakin banyak dan semakin intensif seseorang melakukan proses berlatih, akan semakin cepat tingkat kemahirannya naik.

e. Sekolah. Adalah belajar tentang sejumlah kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan) yang dilakukan secara formal; yakni di suatu lembaga pendidikan atau sekolah. Pendidikan cara ini, umumnya lebih banyak memberikan bekal dalam bentuk teori, dari pada dalam bentuk berlatih atau praktika. Pada masa sekarang, ada jenjang pendidikan tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), misalnya : SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia); jenjang pendidikan tingkat akademis atau sarjana, misalnya: STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), atau ISI (Institut Seni Indonesia). Dalam hal ini, kesulitan tentang ketersediaan buku pelajaran, umumnya bisa diatasi dengan menggunakan buku-buku diktat. Sayangnya kebanyakan hanya beredar secara terbatas dan tidak mudah diperoleh oleh kalangan luar yang ingin belajar.

Ini adalah pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan di Kampus ITB, menyajikan cerita 'Murwa Kala'. Dhalang yang membawakannya, adalah Ki Iskandar Sumowiloto. Kisah pewayangan, lazimnya merupakan kisah menceritakan tentang kebaikan melawan keburukan, yang pada foto ini, dilambangkan dengan raksasa berwarna hitam, yang mewakili sifat-sifat manusia yang buruk; dan, raksasa berwarna putih, yang mewakili sifat-sifat manusia yang baik. Kedua sifat itu, sebenarnya selalu ada dalam diri manusia.



Kedudukan dhalang

Seperti para panjak, maka dhalang-pun mempunyai kedudukan atau status yang berbeda-beda. Dalam hal ini, biasanya dibedakan menjadi sebagai berikut :

a. Dhalang ajaran. Adalah seorang calôn dhalang yang sedang dalam proses belajar berbagai kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan). Karena sifatnya baru
belajar, biasanya oleh dhalang yang berperan sebagai gurunya, dhalang ajaran ini seringkali diberi kesempatan untuk mucuki;  yaitu mencoba melakukan pagelaran wayang, tetapi hanya memainkan adegan paling depan saja; yaitu adegan pertama, atau adegan yang paling awal. Selewat adegan tersebut,  dhalang yang berperan sebagai guru dhalang ajaran, akan segera menggantikan dan meneruskan ceritanya.

b. Dhalang magang. Adalah seorang calôn dhalang yang sedang dalam proses belajar berbagai kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan) dengan cara magang  pada dhalang lain; dengan tujuan memperdalam pengetahuannya. Karena sifatnya baru belajar, biasanya oleh dhalang yang berperan sebagai gurunya, dhalang magang ini seringkali diberi kesempatan untuk menggantikan dhalang yang berperan sebagai guru, pada sejumlah adegan tertentu;
misalnya pada adegan perang gagal, perang kembang, atau adegan lainnya yang dipandang khas. Selewat adegan tersebut, dhalang yang berperan sebagai guru dhalang
magang, akan segera menggantikan dan meneruskan ceritanya.

c. Dhalang dadi. Adalah seorang dhalang yang sudah menyelesaikan seluruh proses belajar berbagai kawrûh pedhalangan (pengetahuan tentang pedhalangan). Mereka ini, umumnya sudah melakukan pagelaran wayang; meskipun mungkin baru beberapa kali.

d. Dhalang sepûh. Adalah seorang dhalang dadi yang sudah sangat berpengalaman dan sudah melakukan banyak pagelaran wayang. Biasanya dhalang seperti ini sudah berumur cukup tua dan sangat disegani oleh dhalang lainnya.


Hubungan panjak dengan dhalang

Pada dasarnya seorang dhalang tidaklah dapat berperan banyak, tanpa dibantu oleh para panjakArtinya, di antara keduanya itu terjadi hubungan yang sangat erat, untuk membuat sebuah pagelaran menjadi disukai, menarik, ramai, hangat, dan memikat. Hubungan yang dimaksud di sini, adalam dalam kaitannya dengan pelaksanaan pagelaran. Seperti telah dijelaskan, seorang dhalang merupakan pemimpin tertinggi dalam pagelaran wayang. Segala perintah dan keinginannya harus ditaati oleh para panjak

Dalam hal ini, ada semacam kesepakatan atau aturan tak tertulis, yang berkenaan pembagian wewenang untuk melakukan pengaturan dan pengendalian, antara dhalang dan para panjak. Sebagian besar aturan atau kesepakatan ini, berkait erat dengan pengendalian dan pengaturan unjuk-kerja karawitan, yang umumnya bersifat sangat teknis dan hirarkis; serta dilengkapi dengan semacam aturan atau kesepakatan yang mengatur jika terjadi kondisi atau situasi yang tidak diinginkan. 

Dhalang dan panjak pengiringnya, merupakan satu kesatuan dalam pagelaran wayang. Berbagai perintah dhalang, baik perintah yang bersifat umum (universal), maupun perintah yang bersifat lokal (berdasar kesepakatan bersama); harus diterjemahkan dan dilaksanakan dengan cepat oleh para panjak. Kesalahan dalam menterjemahkan, umumnya dapat berakibat rusaknya pagelaran. Karenanya, kebersamaan dan kekompakan panjak pengiring dhalang merupakan salah satu kunci keberhasilan pagelaran, hampir di setiap hal.

Jika seorang dhalang karena sesuatu hal, terpaksa bertugas dengan sedikit ‘panjak gawan’ (pemain ricikan gamelan yang dibawa oleh dhalang), dan mereka ini harus bermain bersama sejumlah panjak lain untuk mendukung suatu pagelaran wayang; maka biasanya dhalang ini akan berusaha membawa sekelompok kecil panjak kepercayaannya. Mereka ini, biasanya meliputi panjak kendhang, panjak gendèr barûng, dan panjak balungan, terutama panjak demûng. Kadang-kadang, dhalang juga membawa serta panjak rebab, serta beberapa orang pesindhèn. 

Pagelaran wayang, terutama wayang kulît, biasanya berlangsung semalam suntuk, selama kurang-lebih delapan jam; dimulai sekitar pukul sembilan malam, sampai sekitar pukul lima pagi. Pagelaran selama delapan jam penuh itu, kenyataannya merupakan beban yang sangat berat bagi dhalang dan para panjak. Bahkan bagi dhalang atau panjak yang sudah berpengalaman bertahun-tahun sekalipun, tetap merupakan beban yang berat. Karenanya, permainan wayang dan gamelan tidaklah dilakukan terus-menerus sepanjang malam, melainkan saling bergantian. Bahkan di antara waktu-waktu pagelaran, seringkali dhalang memerlukan istirahat selama beberapa saat. Pada saat dhalang beristirahat ini, para panjak biasanya mengisinya dengan klenèngan selama beberapa saat. Biasanya, waktu istirahat ini dilakukan setelah jantûran selesai dilakukan dhalang. Panjang-pendeknya waktu istirahat ini, biasanya ditentukan oleh dhalang.

Selama pagelaran wayang berlangsung, para panjak yang hendak ke luar dari panggûng, dapat melakukannya setiap saat. Misalnya, jika ia hendak buang air, minum, membeli makanan, membeli rokok, atau keperluan lainnya yang tidak terlalu lama memakan waktu. Berbeda dengan para panjak, maka dhalang tidak dapat (tidak diperbolehkan) meninggalkan panggûng pagelaran. Dhalang yang meninggalkan panggûng pada saat pagelaran sedang berlangsung, akan dianggap tidak etis. Dari segi ini saja, beban seorang dhalang sudah sangat berbeda (sangat berat); karena ia harus menanggung beban untuk menahan berbagai keinginannya selama pagelaran berlangsung. Dalam sejumlah hal, panjak juga berkewajiban membantu dhalang. Misalnya, mengambilkan wayang yang dibutuhkan, menyodorkan/membawakan minum, makanan kecil, makan, rokok, dan sebagainya.

Ikatan antara dhalang dan panjak, di luar pagelaran; seringkali berupa hubungan kekerabatan yang seringkali sedemikian erat, sehingga lebih mirip dengan hubungan keluarga. Ini sangat berlainan dengan hubungan antara dhalang dengan panjak pada saat pagelaran berlangsung; yang merupakan hubungan antara pimpinan dan anak buah. Dalam banyak kasus, peran dhalang sebagai pimpinan sekelompok panjak di dalam pagelaran, seringkali juga terjadi di luar pagelaran. Banyak dhalang, yang dalam keadaan sehari-hari juga merupakan pimpinan kelompok panjak. Mereka itu, biasanya membentuk suatu grup atau kelompok kesenian. Ia seringkali juga menentukan, menetapkan, dan mengatur berbagai hal; misalnya: berbagai keperluan para panjak, kedudukan (posisi) panjak dalam kelompok kesenian tersebut, ricikan gamelan apa yang dimainkan setiap panjak, serta imbalan (uang, gaji) yang diperoleh setiap panjak dari setiap pagelaran.

Beberapa dhalang terkenal (misalnya Ki Nartô Sabdhô almarhum, Ki Manteb Sudarsônô, Ki Anôm Surôtô, dan sejumlah dhalang lainnya), mempunyai sekelompok panjak dan pesindhèn; yang selalu mengikuti kemanapun sang dhalang pergi bertugas/berpentas. Ini dianggap memudahkan bagi dhalang untuk bisa melakukan pagelaran dengan baik. Tetapi bagi sejumlah dhalang lainnya, karena tidak mampu menanggung beban biaya yang cukup besar, yakni untuk membiayai kelompok panjak yang lengkap; biasanya hanya mempunyai sejumlah kecil panjak yang perannya dipandang penting olehnya. Sedangkan kekurangannya, biasanya diusahakan untuk dicarikan di sekitar lokasi pagelaran wayang yang sedang dilangsungkan.

Namun demikian, dhalang tersebut harus bersiap menanggung risiko kemungkinan terjadinya ketidak-kompakan antar panjak; yang mungkin bisa saja terjadi pada saat pagelaran sedang berlangsung. Kondisi dan situasi ini, biasanya terjadi sebagai akibat terjadinya ketidak-pahaman untuk mengerti, menterjemahkan, atau melaksanakan berbagai perintah dhalang; khususnya terhadap berbagai perintah yang bersifat lokal, dan umumnya hanya dimengerti/dipahami oleh kelompok panjak gawan dhalang (pemain ricikan gamelan yang dibawa oleh dhalang).




Ini merupakan suatu pagelaran wayang kulit purwa yang berlangsung di Suriname, Amerika Selatan. Di negeri ini, penduduk suku-bangsa Jawa cukup banyak jumlahnya, dan umumnya mereka masih mempertahankan seni dan budaya Jawa, termasuk bahasa Jawa, serta berbagai adat tradisional dan kebiasaan; yang dulu mereka bawa serta saat mereka bermigrasi ke Surinama.


Pembagian wewenang

Dalam permainan karawitan, meskipun dhalang pada dasarnya bukan merupakan bagian dari kelompok panjak atau pangrawît; tetapi disebabkan dalam pagelaran wayang, terutama wayang kulît, wayang bèbèr, atau wayang golèk; para panjak itu bertugas mengiringi dhalang, maka dhalang lalu menjadi tokoh sentral dalam pagelaran, dan secara hirarkis merupakan tokoh yang tertinggi kekuasaannya dalam pagelaran wayang. Namun demikian, masih diperlukan adanya sejumlah aturan dan kesepakatan lain.

Karenanya, untuk melaksanakan sistem pengaturan dan pengendalian permainan ricikan gamelan atau permainan karawitan, maka disusun suatu kesepakatan atau aturan yang berlaku di antara dhalang dan para panjakPengaturan dan kesepakatan ini, juga meliputi sejumlah aturan yang berlaku juga jika terjadi kondisi dan situasi darurat.


Peran dan wewenang dhalang

Pada pagelaran wayang, terutama wayang kulît, wayang gedhôg, wayang bèbèr, atau wayang golèk, seorang dhalang memegang peran yang sangat penting. Dalam hal ini, dhalang mempunyai wewenang dan kekuasaan tertinggi untuk melaksanakan berbagai pengendalian dan pengaturan dalam pagelaran wayang.

a. Seluruh proses pengaturan dan pengendalian permainan karawitan ini, bisa ‘dilakukan secara tidak langsung’ (Inggris : undirect controlling), yakni melalui para panjak, misalnya pengendalian dilakukan dengan bantuan panjak kendhang, panjak gendèr barûng, panjak rebab, atau panjak lainnya;

b. Seluruh proses pengaturan dan pengendalian permainan karawitan ini, bisa ‘dilakukan secara langsung’ (Inggris : direct controllingoleh dirinya sendiri.

Pelaksanaan pengaturan atau pengendalian permainan karawitan itu, secara teknis bisa dilakukan menggunakan tiga cara, pola, atau pendekatan yang berbeda, yaitu:

a. Dilakukan sendiri oleh dhalang yang bersangkutan. Misalnya, menggunakan ricikan gedhôg atau ricikan keprak, dhalang secara langsung bisa mengatur dan mengendalikan irâmâ [24] atau lâyâ. [25]

b. Dilakukan oleh panjak yang berwenang melakukannya, tanpa menunggu perintah dari dhalang. Misalnya, jika dhalang sedang sibuk, jika dhalang terlalu sibuk, atau jika karena sesuatu hal dhalang tidak bisa melakukan perintah tersebut. Pengambil-alihan wewenang ini, biasanya dilakukan dengan kesepakatan (yang telah dilakukan sebelumnya), antara panjak yang bersangkutan dengan dhalang. Atau, dilakukan berdasar kebiasaan yang telah sering/biasa dilakukan antara keduanya.

Untuk bisa melakukan pengambil-alihan peran dan wewenang ini, sangat diperlukan kekompakan antara dhalang dan panjak yang bersangkutan. Oleh sebab itu, panjak yang bersedia dan berani mengambil-alih peran dan wewenang dhalang, biasanya merupakan panjak yang telah mengenal, sangat terbiasa, sering melakukan pagelaran bersama-sama, dan sangat mengetahui peri-laku dhalang tersebut. [26] 

Dalam hal pola yang berturutan, biasanya setelah dilakukan oleh dhalang, kemudian segera diikuti dengan permainan ricikan yang dilakukan oleh seorang (atau lebih) panjak. Dalam hal yang berkait erat dengan permainan karawitan, khususnya pada pagelaran wayang, terutama wayang kulît, wayang bèbèr, atau wayang golèk; juga diperlukan adanya suatu proses pengaturan dan pengendalian terhadap sejumlah hal. Untuk hal ini, dhalang memegang tampuk kekuasaan yang tertinggi. Misalnya : Dilakukan secara berturutan (hirarkis), yakni dimulai atau dilakukan oleh dhalang, kemudian segera diikuti atau diiringi oleh panjak yang berwenang melakukannya. Ini merupakan pola yang paling banyak dilaksanakan dalam permainan karawitan yang dilaksanakan untuk mengiringi suatu pagelaran wayang. Hal ini, misalnya terjadi pada pelaksanaan proses bukâ [27] suatu gendhîng (notasi dasar lagu).

Perintah atau aba-aba; untuk melakukan 'sesuatu', biasanya bisa berupa hal-hal sebagai berikut.

a. Melakukan atau memerintahkan dilaksanakannya proses bukâ; yaitu proses pembukaan atau proses awal untuk memulai memainkan suatu gendhîng (notasi dasar lagu).

b. Melakukan atau memerintahkan dilaksanakannya proses suwûk; yaitu proses penghentian permainan suatu gendhîng (notasi dasar lagu). 

c. Melakukan atau memerintahkan dilaksanakannya proses minggah, inggah, atau inggah gendhîng; yaitu menaikkan atau memindahkan lagu. 

d. Melakukan atau memerintahkan dilaksanakannya proses pengaturan dan pengendalian moda/pola irâmâ; yaitu perbandingan antara jumlah pukulan ricikan pekîng dengan jumlah pukulan ricikan balungan lainnya. 

e. Melakukan atau memerintahkan dilaksanakannya pengaturan dan pengendalian lâyâ, yaitu mengatur kecepatan permainan ricikan gamelan. 

f. Melakukan atau memerintahkan dilaksanakannya pengaturan dan pengendalian tabûh; yaitu tingkat/derajat kekerasan suara yang dihasilkan oleh ricikan gamelan. 

g. Melakukan atau memerintahkan panjak, khususnya panjak swârâ, untuk menyanyikan suatu lagu tertentu, atau melakukan sesuatu hal (misalnya, bersorak, bertepuk, bersuit, atau meneriakkan suatu kata tertentu).

Namun demikian, jika karena sesuatu hal dhalang tidak bisa berperan; maka wewenangnya secara automatis, seharusnya dan sebaiknya, semestinya diambil-alih oleh panjak. Hal ini, dilakukan supaya pagelaran tetap bisa berlangsung (jika memungkinkan, dilakukan tanpa menghentikan pagelaran).


_____________________________

[1]  Istilah ruwat, mempunyai arti: upacara ritual adat yang dilaksanakan dengan tujuan merawat, memelihara, atau memperbaiki sesuatu hal (lingkungan, kehidupan, tanah kelahiran, lingkung sekitar); serta menyatakan rasa terima-kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala berkah dan rahmat yang telah dikaruniakan kepada umatnya, dalam
bentuk kesuburan tanah, hasil pertanian, atau peternakan yang melimpah, kesejahteraan, serta melimpahnya rejeki. Pelaksanaannya, disebut hangruwat, angruwat, atau ngruwatSedangkan kegiatannya, secara umum disebut ruwatan.

[2]  Tokoh Bathârâ Kâlâ, dalam upacara ritual adat ruwatan, mewakili déwâ yang akan ‘memangsa’ manusia yang berbuat suatu kesalahan. Istilah kâlâ, berarti ‘waktu’ atau ‘saat’. Dengan demikian, Bathârâ Kâlâ mempunyai makna déwâ yang berkuasa atas waktu. Dalam legenda, disebutkan bahwa Bathârâ Kâlâ akan datang untuk ‘pada saat yang sudah ditentukan’; misalnya, pada saat manusia berbuat suatu kesalahan. Istilah kâlâ, juga dapat diartikan sebagai ‘jerat’ atau ‘jebakan’. Dengan demikian, Bathârâ Kâlâ dapat diartikan sebagai ‘sesuatu yang bersifat sebagai jebakan/jerat, yang bisa mendatangkan mala-petaka bagi kehidupan manusia’. Dalam pengertian ini, jebakan atau jerat yang dimaksudkan adalah nafsu, keinginan, dan peri-laku buruk manusia.

[3]  Tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ, dalam upacara ritual adat ruwatan, digambarkan sebagai seorang dhalang, yang mewakili tokoh atau déwâ yang selalu bertindak ‘mengingatkan dan menyelamatkan manusia yang hendak berbuat kesalahan atau yang telah berbuat kesalahan’. Tokoh ini, diceritakan sebagai penjelmaan Bathara Wisnu, yakni déwâ kebajikan (kebaikan). Dalam upacara ritual adat ruwatan, tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ inilah yang sebenarnya akan melakukan proses ngruwat.

[4]  Tokoh Mbôk Rândhâ Dhadhapan, dalam upacara ritual adat ruwatan, mewakili orang tua (khususnya ibu) dari orang yang hendak diruwat.

[5]  Upacara ritual adat ruwat désâ, merti désâ, atau bersih désâ, biasanya dilaksanakan oleh kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jâwâ untuk menyatakan rasa terima-kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rezeki dan kesejahteraan yang telah dikarunaikan kepada mereka. Karenanya, kegiatan ini biasanya dilaksanakan setelah panen raya selesai. Upacara ritual ada ruwat désâ ini, juga dilaksanakan untuk memuja dan berterima-kasih kepada Dèwi Sri (Bathari Sri); yang dipercayai sebagai dewi kesuburan. Kepercayaan dan ritual adat ini, sudah ada sejak jaman purba, serta merupakan ritual dan kepercayaan khas masyarakat berkebudayaan agraris, yang sampai saat ini masih hidup di sebagian kalangan  masyarakat  tradisional suku-bangsa Jâwâ; khususnya yang tinggal di wilayah pedalaman.

[6]  Upacara ruwat kebôn, dilaksanakan dengan maksud berterima-kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala karunia yang telah diberikan kepada kelompok masyarakat yang memiliki suatu kebôn (ladang, kebun, atau lahan/tanah pertanian kering).

[7]  Upacara ritual adat ruwat bumi atau ruwat sedhekah bumi, dilaksanakan dengan maksud berterima-kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala karunia yang telah diberikan kepada kelompok masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau desa tertentu. Istilah bumi, dalam pengertian ini mempunyai arti: desa, kampung halaman, wilayah, tanah, tempat tinggal, tanah kelahiran, atau tanah air. Penggunaan istilah sedhekah pada istilah sedhekah bumi, jelas bermaksud memberikan sebagian hasil atau pendapatan (dalam hal ini, yang dimaksud adalah hasil bumi, hasil pertanian, atau hasil peternakan).

[8]  Saat itu, penulis masih duduk sebagai mahasiswa tingkat akhir (tingkat IV); pada program studi jurusan Desain Produk, Departemen Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung. Survei lapangan yang dilakukan penulis, adalah seluk-beluk pembuatan dan penggunaan gamelan Jâwâ .

[9]  Pedhalangan, adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan
dengan cara/teknik memainkan wayang.

[10]  Gagrak, dapat disetarakan dengan mahzab, pola, corak, atau gaya. Biasanya berhubungan dengan gaya permainan wayang, gaya permainan alat-alat gamelan, atau gaya permainan seni karawitan. Sebutan suatu gagrak, biasanya lebih mengacu kepada suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, mengacu kepada besarnya pengaruh gaya tersebut pada suatu wilayah tertentu; atau, besarnya jumlah pengikut/pendukung gaya tersebut di suatu wilayah tertentu.

[11]  Nada sléndro barang mirîng, adalah nada suara yang sebenarnya menggunakan tangga-nada slendro, tetapi secara sengaja dilafalkan/dibunyikan tidak tepat pada nada yang dimaksud, melainkan agak melenceng sedikit; sehingga berkesan sebagai nada minor (nada yang tepat, umumnya disebut sebagai nada mayor).

[12]  Janturan, adalah cerita yang dibawakan/disampaikan oleh dhalang, tentang suasana, keadaan, atau situasi pada adegan atau babak tertentu dalam permainan wayang.

[13] Antawacana, adalah dialog antar tokoh-tokoh wayang, yang dibawakan oleh dhalang, pada adegan atau babak tertentu dalam permainan wayang.

[14]  Gaya janturan dan ântâwacânâ yang digunakan pada pedhalangan gagrak Mataram gaya lama bersifat sangat khas, sehingga sangat berbeda dengan yang digunakan pada pedhalangan gagrak Mataram masa sekarang. Letak perbedaannya adalah pada cara mengucapkan/melafalkan kata atau kalimat. Pada pedhalangan gagrak Mataram gaya lama, kata atau kalimat janturan dan ântâwacânâ, cenderung agak dilagukan (pengucapan kata/kalimat dibuat lebih melantun, bernada naik secara lambat, diikuti dengan nada yang menurun yang dilakukan secara tiba-tiba), dan cenderung dipenggal-penggal (dipotong-potong), dengan akhir penggalan kata atau kalimat, bernada rendah.

[15]  Kerajaan Jenggâlâ Manîk, merupakan salah satu dari sejumlah kerajaan tua yang benar-benar ada, dan dikenal dalam legenda dan sejarah kerajaan-kerajaan lama di pulau Jâwâ (khususnya Jâwâ Timur), yakni pada masa kerajaan Kediri; tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kerajaan Dwârâwati, yang hanya ada dalam bentuk cerita, yang diterakan di dalam kitab Mâhâ Bharâtâ.

[16]  Ricikan keprak gagrak Mataram; biasanya menggunakan lempeng logam paduan 'kuningan' (Inggris: brass) yang agak tebal (ketebalan lempeng logam, sekitar 2 – 4 mm). Umumnya, berbentuk kotak (segi empat) yang tidak terlalu luas, berukuran panjang dan lebar masing-masing sekitar 8 – 12 cm. Jumlah lempeng logam yang digunakan, sekitar 3 – 4 lempeng. Alat bunyi-bunyian ini, menghasilkan suara gemrincing atau kemrincing (gemerincing, bunyinya bernada tinggi dan nyaring). Jika dibunyikan, suara yang dihasilkan akan berbunyi ‘cring’.

[17]  Ricikan keprak gagrak Surâkartâ; biasanya menggunakan lempeng logam paduan 'kuningan' (brass) yang agak tipis (ketebalan lempeng logam, sekitar 2 – 4 mm). Umumnya, berbentuk kotak (segi empat) yang agak luas, berukuran panjang dan lebar masing-masing sekitar 10 – 20 cm. Jumlah lempeng logam yang digunakan, sekitar 4 – 6 lempeng. Alat bunyi-bunyian ini, menghasilkan suara gemrèjèk (tidak bernada, bunyinya bernada rendah dan sangat berisik). Jika dibunyikan, suara yang dihasilkan akan berbunyi ‘jrèk’.

[18]  Bahasa Jâwâ Tengahan, adalah bâsâ Jâwâ (bahasa Jâwâ) lama yang banyak digunakan pada 'masa tengahan', yaitu pada sekitar masa kerajaan Pajang, Demak, atau Mataram. Bahasanya, agak mirip dengan bahasa Jâwâ Ngoko masa sekarang, tetapi masih bercampur dengan bahasa Jâwâ Kunâ dan terasa agak lebih kasar.

[19]  Sulûk, adalah nyanyian bersyair, yang dibawakan oleh dhalang dalam pagelaran wayang. Biasanya berbentuk syair yang mengandung makna, suasana, atau penggalan cerita tertentu.

[20]  Jineman, adalah salah satu bentuk pola susunan/konfigurasi gendhîng Jâwâ, yang susunannya agak tidak teratur (tidak mengikuti suatu pola susunan/konfigurasi khas tertentu).

[21]  Istilah sastrâ dalam bâsâ Jâwâ (bahasa Jâwâ), mempunyai pengertian yang lebih mengarah kepada persoalan kemampuan menulis, kemampuan berbicara, kemampuan berkomunikasi, kemampuan menggambarkan sesuatu dengan bahasa (dilakukan secara verbal/lisan), tata bahasa, penguasaan kosa kata, penguasaan tata krama penggunaan bahasa/kata/kalimat, dan penguasaan berbagai jenis syair, tembang, peri-bahasa, perlambangan; yang semuanya itu berkait erat dengan penggunaan bahasa.

[22]  Salah satu dhalang yang sangat mahir mengolah, mengapresiasi, melogikakan cerita, mendramatisasi cerita, dan mengembangkan cerita sedemikian rupa, sehingga seringkali cerita tersebut bisa berubah alur, berubah penekanan (berubah plot) ceritanya, berubah penokohannya, atau berubah pemahamannya; adalah Ki Nartô Sabdhô almarhum. Salah satu cerita atau lakôn yang agak sering dibawakan oleh Ki Nartô Sabdhô almarhum, (mungkin karena disukai) dan cerita ini terbukti berubah alur dan berubah sifat tokoh-tokoh ceritanya, adalah cerita Bomâ Nârâ Surâ, Sâmbâ Juwîng, atau Gojali Sutâ. Dalam cerita aslinya (diambil dari Kakawîn Bomâ Kawyâ), tokoh Bomâ Nârâ Surâ digambarkan sebagai tokoh raja raksasa yang jahat. Tetapi, dalam sejumlah versi cerita Bomâ Nârâ Surâ yang dibawakan oleh Ki Nartô Sabdhô almarhum, tokoh Bomâ Nârâ Surâ ini ‘diubah’ menjadi tokoh yang digambarkan menjadi korban sifat arogansi para ksatria. Bahkan, tokoh Arjunâ, yang biasanya digambarkan sebagai tokoh yang mewakili pihak yang benar; atau mewakili kebenaran dan kebaikan; dalam versi ini, diceritakan sebagai tokoh yang mendukung dan menolong tokoh ksatria yang berbuat kejahatan (diperankan oleh tokoh ksatria Radèn Sâmbâ). Adapun tokoh ksatria Radèn Sâmbâ, bahkan digambarkan sebagai seorang ksatria yang bersifat candhâlâ (bermoral rendah, buruk peri-lakunya); misalnya, berusaha memperkosa Dewi Suprâbâ, yang berusaha menolongnya, berusaha merebut isteri kakaknya (isteri Bomâ Nârâ Surâ), dan melakukan persekongkolan jahat bersama Arjunâ untuk menculik dan melarikan Dèwi Hâgnyânâwati (isteri Bomâ Nârâ Surâ). 

[23]  Penulis, pernah menyaksikan sebuah pagelaran wayang kulît pûrwâ, yang dilakukan oleh seorang dhalang tiban. Pagelaran wayang ini, dilakukan sekitar 1982, di desa Dhadhap Ayam, lokasinya kira-kira 15 kilometer ke arah timur kota Sâlâ-Tigâ. Menurut pengakuan penduduk yang sudah bertahun-tahun menjadi tetangga dhalang tiban tersebut; seingat mereka dhalang tersebut tidak pernah belajar kawrûh pedhalangan kepada siapapun. 

[24]  Irâmâ, dalam bahasa Indonesia setara dengan ‘ritma’ (Inggris: rithm); yang bisa diartikan sebagai ‘perbandingan antara jumlah pukulan ricikan pekîng dengan jumlah pukulan ricikan balungan lainnya’. Biasanya irâmâ dinyatakan dengan angka misalnya: 1/4, 1/8, 1/16, dan seterusnya. Sebagai contoh, irâmâ 1/4; artinya: satu (1) kali sabetan (pukulan) ricikan balungan sarôn barûng, setara dengan empat (4) kali sabetan (pukulan) ricikan balungan pekîng

[25]  Lâyâ, dalam bahasa Indonesia setara dengan ‘kecepatan’ (Inggris: speed); yang bisa diartikan sebagai ‘kecepatan permainan gamelan‘. Kenyataannya, istilah lâyâ seringkali dikacaukan dengan irâmâ. Kerancuan ini, penyebabnya adalah untuk menyatakan kecepatan permainan, seringkali juga digunakan istilah irâmâ. Misalnya, istilah irâmâ seseg (irama cepat), yang seharusnya disebut lâyâ seseg. Namun hal ini sudah merupakan hal yang umum (dianggap wajar) dilakukan para panjak, dan biasanya tidak bersifat membingungkan; kecuali bagi mereka yang baru pertama kali belajar karawitan Jâwâ. 

[26]  Panjak yang berani dan bersedia mengambil alih peran dan wewenang dhalang, biasanya merupakan panjak yang sudah lama kenal sang dhalang, sering mengiringi dhalang tersebut, atau panjak yang dibawa oleh dhalang yang bersangkutan. Panjak-panjak yang tidak digolongkan dalam kategori di atas, biasanya akan bersikap ragu-ragu, lama dalam menetapkan sikap, atau bersikap menunggu sampai terjadi suatu kepastian, jika diperlukan proses pengambil-alihan peran atau wewenang dari dhalang. Umumnya, hal ini disebabkan panjak yang bersangkutan takut berbuat kesalahan; atau, takut dianggap melampaui wewenang. 

[27]  Bukâ, adalah ‘proses pembukaan, proses awal, atau permainan awal; yang dilakukan untuk memulai memainkan suatu gendhîng (notasi dasar lagu)’.



Tidak ada komentar:

PATHET: PENJELAJAHAN MANUSIA SAAT MENITI KEHIDUPAN DAN WAKTU

  Bram Palgunadi Ya betul. Memang kenyataannya, ada hubungan yang amat sangat erat, antara kehidupan manusia dan waktu; dengan 'pathet...