26 September, 2023

KEAJAIBAN PELANTUN TEMBANG SULUK PESISIR

Bram Palgunadi
26 September 2023








Selain Mbak Ayu 'Kuke' Wulandari, yang memang canggih, dan merupakan panembang keren, yang paling lama, dan sudah bergabung sejak sekitar tahun 2013, dalam kelompok pelantun Tembang Suluk Pesisir. Ada sejumlah panembang lain, yang sekarang mereka semua itu, sudah tersebar di berbagai kota, karena sudah lulus, dan sudah menggeluti tugas dan pekerjaan mereka. Misalnya, ada Mbak Suri, Mbak Mei Handayani, Mbak Lucky, Mbak Zuhdina, Mbak Saputri, Mbak Jean Marlon Tahitoe, Mas Aditya, Mas Kerwin, Mas Gunawan Laori, Mas Hanif, Mas Gora Santika, Mas Ozil, serta sejumlah mahasiswa dan mahasiswi ITB, anggota PSTK-ITB. Terhadap para pelantun Tembang Suluk Pesisir itu, saya menemukan ada suatu  fenomena, yang paling tidak saya mencermatinya, sudah terjadi dua kali, yaitu pada tahun 2013, dan pada tahun 2023. Jadi, di antara kedua fenomena itu, terpaut perbedaan waktu selama sepuluh tahun.

Kedua fenomena ini, terjadi begitu saja, dan sama sekali tidak direncanakan. Juga, sama sekali tidak diduga akan terjadi. Kedua fenomena itu, amat sangat mirip, kalau tak boleh dikatakan benar-benar sama. Fenomena pertama, terjadi pada sekitar tahun 2013. Sedangkan fenomena kedua, terjadi pada hari Minggu kemarin, tanggal 24 September 2023. Jadi, di antara keduanya, waktu kejadiannya, terpaut perbedaan selama sepuluh tahun.




Ini adalah saat Mbak Suri (kiri) dan Mbak Ayu 'Kuke' Wulandari (kanan), saat keduanya tampil pada pagelaran resital karawitan wayangan dan Tembang Suluk Pesisir, di Gedung Aula Barat, ITB, pada hari Minggu, tanggal 20 Agustus 2023.


Pada kedua fenomena itu, saya menemukan suatu 'keajaiban'. Paling tidak, begitulah pendapat saya. Karena menurut saya, fenomenanya tidak lazim, dan ajaib. Keduanya, boleh dikatakan mempunyai kesamaan, yaitu bisa melantunkan Tembang Suluk Pesisir, dalam waktu yang boleh dikatakan amat sangat singkat. Karena, seseorang yang belajar melantunkan tembang apapun, biasanya memerlukan waktu yang cukup lama, untuk bisa melakukannya secara relatif baik. Itu sudah merupakan hukum alam, yang bisa kita cermati nyaris setiap saat. Tapi, soal seseorang yang secara tiba-tiba lalu bisa melantunkan tembang, dan khususnya Tembang Suluk Pesisir, bukan merupakan hal yang lazim. Kalau di kalangan 'pedhalangan', dikenal adanya fenomena 'dhalang tiban', yaitu seseorang yang diketahui oleh seluruh lingkung sekitar tempat-tinggalnya, tak pernah belajar ndhalang kepada dhalang lain, atau kepada siapapun; tetapi tiba-tiba saja ioa bisa ndhalang. Fenomena yang ditemukan ini, sebenarnya agak mirip seperti itu. Mereka yang mengalaminya, tiba-tiba saja, dalam waktu yang amat sangat pendek, bisa melantunkan Tembang Suluk Pesisir. Dan, hal ini saya temukan pada dua orang puteri, yang belajar melantunkan Tembang Suluk Pesisir.

Puteri pertama. Adalah Mbak Vilda Sintadela, seorang gadis berdarah Sunda, yang tinggal di Bandung. Waktu itu, masih merupakan seorang mahasiswi Jurusan Disain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Bandung. Mbak Vilda ini, pertama kali berkenalan dengan gamelan adalah pada tahun 2013. Sebelumnya, ia tak pernah mengenal gamelan manapun, termasuk Gamelan Jawa, atau Gamelan Sunda. Ia, juga belum pernah melantunkan tembang apapun, baik Tembang Jawa, maupun Tembang Sunda. Artinya, ia sama sekali tidak familiar dengan nada-nada gamelan yang manapun.




Fenomena yang terjadi pada Mbak Vilda, ia bisa dikatakan tiba-tiba bisa melantunkan Tembang Suluk Pesisir dalam waktu yang relatif singkat.

Pada saat itu, Mbak Vilda datang ke tempat berlatih Tembang Suluk Pesisir, pada sekitar pukul 15:00 sore. Lokasi tempat berlatihnya, di ruang belakang Gedung Aula Timur, ITB; yang sekaligus juga merupakan ruang sekretariat PSTK-ITB. Ia, mencoba melantunkan Tembang Suluk Pesisir bersama saya. Sementara saya sendiri, saat itu, mengiringinya menggunakan Ricikan Gender Pambarung, sambil melantunkan Tembang Suluk Pesisir. Selama setengah jam pertama, yaitu sampai sekitar jam 15:30, Mbak Vilda belum bisa menguasai sama sekali materi tembang suluk yang diajarkan kepadanya. Pada jam 16:00, Mbak Vilda juga belum bisa mengatasi kesulitan melantunkan Tembang Suluk Pesisir. Pada jam 16:30, ada sedikit perubahan. Mbak Vilda sudah mulai sedikit fasih melantunkan Tembang Suluk Pesisir. Dan, tepat pada jam 17:00, Mbak Vilda sudah relatif bisa menguasai materi Tembang Suluk Pesisir yang diajarkan kepadanya. Meskipun penguasaan nada, dan cengkok (lekuk-liku) atau aransemen suara dan nadanya, sudah relatif cukup baik; tetapi tingkat kekerasan suara (loudness) suara yang dihasilkan, masih terlampau pelan (suaranya kurang keras). Pada saat itu,  saya memutuskan untuk membuat rekaman video. Sekurang-kurangnya sebagai dokumentasi; selain sebagai rekaman fakta.

Puteri kedua. Adalah Mbak Amanda, seorang gadis yang berasal dari Tangerang, seorang mahasiswi Tingkat Pertama Bersama (TPB), pada Institut Teknologi Bandung (ITB), yang kuliahnya di ITB Jati-Nangor. Mbak Amanda, pertama kali berkenalan dengan gamelan Jawa, adalah beberapa hari yang lalu, pada hari Minggu, tanggal 25 September 2023. Mbak Amanda datang ke tempat berlatih, di Ruang Latihan Bersama (RLB), sekitar jam 11:00. Ia agak terlambat, karena berangkat dari Jati-Nangor. Jarak antara Jati-Nangor dengan Kota Bandung, biasanya bisa ditempuh kira-kira dalam satu jam, jika jalan tidak macet. Tetapi, jika situasi jalan macet, maka diperlukan waktu yang lebih lama lagi. Kalau sial, bisa mencapai sekitar dua jam; atau, bahkan lebih. Seperti yang terjadi pada Mbak Vilda Sintadela, Mbak Amanda ini, pada kurun waktu dua jam pertama, masih mengalami kesulitan untuk bisa melantunkan Tembang Suluk Pesisir secara relatif baik. Tetapi, pada jam ke-tiga, tiba-tiba saja, ia bisa melantunkan Tembang Suluk Pesisir secara cukup baik, meskipun suaranya masih pelan. Fenomenanya, seperti mendapat pencerahan. Tiba-tiba bisa melakukannya.





Fenomena yang terjadi pada Mbak Amanda, secara umum juga bisa dikatakan sama, seperti yang terjadi pada Mbak Vilda. Bahkan, dengan panjang kurun waktu yang kira-kira juga sama panjangnya.


Catatan saja. Untuk para mahasiswa dan mahasiswi, ada pilihan yang jauh lebih murah, yaitu naik bis kota, yang trayeknya Jati-Nangor - Dipati Ukur (Universitas Padjadjaran, UNPAD), dan sebaliknya. Dari UNPAD, ke ITB bisa memakai angkot berwarna hijau, yang trayeknya Terminal Dago - Kebon Kelapa (Terminal Abdul Muis). Angkot ini, banyak yang rutenya dari Jalan Dago, berbelok ke arah Jalan Dipati Ukur, lalu mengeliling Kampus UNPAD, kemudian menuju Jalan Dago kembali. Untuk menuju Kampus ITB, harus berhenti dan turun di pertigaan Jalan Dago, tepat di sebelah Rumah Sakit Borromeouz. Pilihan lain, adalah menggunakan angkot trayek Dipati Ukur (UNPAD) - Panghegar. Angkot berwarna kuning-putih ini, melewati depan Kampus ITB. Untuk kembali ke Jati-Nangor, juga bisa naik bis kota yang trayeknya Leuwi-Panjang - Dipati Ukur (UNPAD). Bis kota ini, melewati pertigaan Jalan Ganesa - Jalan Dago; terus ke Jalan Dipati Ukur. Tetapi, bis-kota ini, kelihatannya agak jarang; jadi bisa cukup lama menunggunya. Pilihan lain, adalah menggunakan angkot trayek Panghegar - Dipati Ukur, yang melewati depan Kampus ITB. Tetapi, kelihatannya angkot ini, sekarang juga agak jarang. Begitulah sekedar informasi tentang layanan angkutan penumpang antara Kampus ITB Ganesa (Bandung), dengan Kampus ITB Jati-Nangor. 

Kembali pada keajaiban fenomena yang terjadi. Keajaibannya, paling tidak menurut saya, adalah bahwa keduanya, sama-sama datang dalam kondisi sama sekali tidak mengenal Tembang Suluk Pesisir, tidak mengenal gamelan, belum pernah melantunkan tembang apapun, termasuk tembang Jawa, Tembang Macapat, atau semacamnya, apalagi Tembang Suluk Pesisir. Jadi, bagi keduanya, nada-nada gamelan Jawa, pasti terasa asing pada awalnya. Apalagi, jika harus berurusan dengan Laras Slendro Barang Miring (Tangga-nada Slendro Minor). Yang 'mayor' saja tak mengenal, apalagi yang 'minor'. Begitulah yang terjadi, pada saat pertama kali saya bertemu keduanya.

Yang juga mencengangkan, adalah dua-duanya, bisa direkam pada saat selepas dua atau tiga jam kemudian. Penguasaan nada serta 'cengkok' (lekuk-liku susunan atau aransemen nada) sudah relatif baik, khususnya yang berhubungan dengan penerapan nada-nada 'miring' (minor). Sebagai catatan, pada tembang suluk mahzab (gaya) Pesisir, sangat intensif menggunakan nada-nada 'Laras Slendro Barang Miring' (Tangga-Nada Slendro Minor), yang harus diakui saja, memang relatif sukar menerapkannya, karena suara vokal, tidak sama dengan suara yang berasal dari bilah-bilah nada gamelan. Terus-terang saja, kalau untuk saya, antara menerapkan nada-nada mayor dan menerapkan nada-nada minor (lazim disebut nada 'barang miring') pada tangga-nada Slendro, boleh dikatakan sama mudahnya. Tetapi, hal ini tentu saja karena saya sudah terbiasa melakukannya selama berpuluh tahun. 

Sedangkan bagi sejumlah sahabat saya, yang beberapa di antaranya bahkan juga sering 'ndhalang'  melantunkan tembang suluk dhalang, atau memainkan ricikan gamelan; beberapa dari mereka, mengatakan: "Menggunakan nada-nada Slendro Barang Miring  atau nada-nada Slendro Minor, itu sukar...." Entahlah, mengapa bisa demikian pendapatnya. Jadi, kalau bagi mereka (sahabat-sahabat lama saya), yang sudah terbiasa dengan gamelan saja, menyatakan sukar, apalagi bagi mereka yang baru untuk pertama kali mengenal gamelan dan nada-nada gamelan. Karena fenomena kesulitan itu memang nyata terjadi, maka saya lantas bisa membayangkan, bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang untuk pertama kalinya, belajar melantunkan syair Tembang Suluk Pesisir, yang nyaris semuanya sangat mengexploitasi nada-nada Slendro Barang Miring. Oleh karena itu pula, jika ada seseorang yang dalam waktu yang amat sangat singkat, hanya beberapa jam saja, sudah bisa menguasai dan melantunkan Tembang Suluk Pesisir, maka saya lalu mengatakan hal itu sebagai suatu keajaiban yang luar biasa. Extra ordinary...!






















25 September, 2023

PARA WIRA PRADANGGA MUDA


Bram Palgunadi





Bulan Juli, 2023, bolehlah disebut sebagai awal kembalinya geliat kegiatan kesenian dan kebudayaan di Kampus ITB, setelah nyaris tiga tahun, seluruh kegiatan di kampus ini dihentikan secara total, dan kampus dinyatakan ditutup untuk hampir seluruh kegiatan. Semua itu, gara-gara merebaknya pandemi Covid-19. Kegiatan extra kurikuler mahasiswa ITB, pada hampir semua semua unit, nyaris terpapar dampaknya. Nyaris tak ada kegiatan, dan bahkan bisa jadi bubar, dan lenyap dari peredarannya di kampus ITB. Bahkan sampai sekarangpun, sejumlah ruang sekretariat unit-unit itu masih banyak yang tampak kosong, berdebu, tak berpenghuni, dan sama sekali tak ada kegiatan apapun.

Unit kegiatan extra-kurikuler mahasiswa PSTK-ITB (Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan Jawa - Institut Teknologi Bandung), jelas juga terpapar efek Pandemi Covid-19 yang parah itu. Bahkan, pada akhir tahun 2022, menjelang tahun 2023, tak ada lagi anggota dan pengurusnya. Jadi, sebenarnya unit PSTK-ITB itu dalam situasi dan kondisi seperti itu, secara de facto dan secara de yure; bisa dikatakan sudah bubar. Begitulah kenyataannya.

Lalu, entah bagaimana awal-mulanya, tiba-tiba saja saya mendapat pertanyaan dari sejumlah alumni ITB, anggota PSTK-ITB, yang bergabung pada suatu grup WA (Whats App). Mereka bertanya tentang bagaimana kondisi gamelan dan wayang PSTK-ITB. Mendapat pertanyaan seperti itu, sudah barang tentu saya tak bisa menjawab, karena selama nyaris tiga tahun, tak pernah ke Kampus ITB. Tetapi, beruntungnya, saya bisa menghubungi seorang dosen ITB, yang kebetulan menjadi Pembina Unit PSTK-ITB, yaitu Mas Getbogi. Dari beliaulah, saya memperoleh informasi agak lengkap tentang kondisi PSTK-ITB yang bisa dibilang sangat parah, dan malah dinyatakan nyaris sudah bubar; karena tidak ada lagi anggota dan pengurusnya yang aktif.

Keberuntungan kedua, ternyata menyambangi PSTK-ITB. Entah dari mana awal mulanya, menurut Mas Getbogi, ada seorang mahasiswa yang juga entah bagaimana awal-mulanya, tiba-tiba saja bersedia 'madeg sureng driya' (berdiri dengan gagah berani), mengambil tanggung-jawab, menjadi calon ketua baru PSTK-ITB, perioda tahun 2023 - 2024. Namanya, Mas Vito. Saya mendapat nomor telepon Mas Vito, dari Mas Getbogi. Tak menunggu waktu, saya langsung menghubungi Mas Vito. Saat saya telepon, ternyata Mas Vito sedang ikut Festival Macapat, di Sura-Baya. Berdasar pertemuan melalui telepon itulah, saya dan Mas Vito, bersepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan di Ruang Latihan Bersama (RLB), PSTK-ITB, yang lokasinya di lantai bawah, Gedung Campus Center ITB, sisi barat. Pertemuannya direncanakan pada bulan depan, yaitu pada awal bulan Juli, 2023.




Ini adalah pertemuan pertama, bersama Mas Vito dan Mbak Vina. Selepas mengatur strategi, lalu menyempatkan diri untuk melantunkan tembang.


Pertemuan pertama kali, dilakukan pada awal bulan Juli, 2023, di Ruang Latihan Bersama (RLB), PSTK-ITB. Pertemuan itu berlangsung bertiga, saya, Mas Vito, dan Mbak Vina. Ternyata Mbak Vina adalah mantan ketua PSTK-ITB perioda tahun 2021-2022. Dari pertemuan bertiga itulah, disepakati untuk menjalankan suatu strategi, guna menghidupkan kembali unit PSTK-ITB, yang saat itu boleh dikatakan sudah tiada. Lalu disepakati juga untuk berusaha mengumpulkan pada mantan anggota PSTK-ITB sedapatnya. Begitulah kisah ringkasnya.

Pada hari itu itu juga, selepas pertemuan yang mendiskusikan strategi untuk menghidupkan kembali unit PSTK-ITB, saya menyempatkan diri untuk memainkan Ricikan Gender Pambarung, Laras Slendro kesukaan saya. Sudah agak berdebu, karena nyaris tiga tahun tak ada yang memainkannya. Lalu, saya tanya kepada Mas Vito, apakah dia bisa melantunkan tembang Macapat tertentu. Lalu, dicoba untuk melantunkan Tembang Pucung, dalam gaya 'biasa', menggunakan nada 'mayor' yang lazim ditembangkan orang. Lalu, saya menimpalinya dengan Tembang Pucung juga, tetapi dalam gaya Pesisir, yang menggunakan nada 'minor'. Tak menunggu lama, saya segera menyempatkan diri untuk merekam pertemuan luar biasa hari itu. Saat itu, Mbak Vina berbaik hati, berperan sebagai operator kamera video. Ia yang melakukan proses rekaman video. Dan ini, merupakan rekaman pertama, yang dilakukan, selepas PSTK-ITB disepakati untuk 'dihidupkan kembali'.


Peresmian 'hidup kembalinya PSTK-ITB', diramaikan dengan makan nasi tumpeng bersama.


Hari-hari pertama latihan karawitan wayangan dan Tembang Suluk Pesisir, mulai dilakukan pada minggu kedua bulan Juli, tahun 2023.


Seminggu kemudian, atau minggu depannya, tepat pada pertengahan bulan Juli, 2023, latihan pertama dilaksanakan di RLB. Saya mempersiapkan materinya, sementara Mas Vito dan Mbak Vina mempersiapkan orang yang hendak dilatih. Ini merupakan masa yang cukup rumit, sulit, dan susah; karena bersamaan dengan waktu latihan, ternyata banyak kegiatan mahasiswa, terutama dalam rangka penerimaan mahasiswa baru. Jadi, peserta latihan karawitan  wayangan dan Tembang Suluk Pesisir, tak bisa berlangsung efektif, karena pesertanya cenderung berganti-ganti terus. Tetapi, latihan tetap dijalankan secara rutin dan konsisten, meskipun pesertanya  tidak selalu lengkap. Malah, banyak tidak lengkapnya.

Lalu tiba-tiba saja datang undangan permintaan untuk tampil, pada pagelaran wayang kulit purwa, yang akan dilaksanakan oleh para alumni ITB anggota lama PSTK-ITB, yang kebanyakan umurnya sudah lewat 50 tahun, dan kebanyakan sudah pensiun. Waktunya mepet banget. Saya mempersiapkan materi yang akan ditampilkan. Setelah dipertimbangkan, akhirnya dipilihkan empat materi. Sederhana, pendek, dan khas wayangan saja. Karena hanya diberi waktu sekitar 20 menit; sebagai pembuka awal pagelaran wayang.


Pada pertemuan berikutnya, sudah ada Mbak Ayu, dan ada juga 'satbanpur' (satuan bantuan tempur), Mas Lukman Samboja, dan belakangan juga ada Mas Deni Kartika.


Latihan dijadikan dua kali dalam satu Minggu, yaitu hari Sabtu dan hari Minggu. Masing-masing dimulai dari jam 10:00, resminya sampai sekitar jam 14:00. Tetapi, nyatanya sering lebih, bahkan sampai sore. Sampai dengan hari pagelaran, hanya tersedia sekitar delapan kali latihan. Ini perhitungan yang sebenarnya tidak masuk akal. Karena para pesertanya tak ada yang sebelumnya pernah memainkan karawitan khas wayangan. Apalagi dilengkapi dengan Tembang Suluk Pesisir. Karenanya, saya lantas menyebut kelompok mereka itu sebagai 'wira pradangga'. 'Wira', artinya: berani, gagah berani. Sedangkan 'pradangga', artinya: penabuh ricikan gamelan, sama artinya dengan 'nayaga', 'wiyaga', 'yaga', atau 'pangrawit'. Jadi, arti lengkapnya, adalah 'penabuh gamelan yang berani'. Tetapi, sebutan lengkapnya adalah 'wira pradangga mudha'. Istilah 'mudha', artinya: muda, belia, masih belia. Maka arti sebutan lengkapnya, adalah 'para penabuh muda ricikan gamelan yang berani'.




Bantuan tempur lain, datang dari sahabat-sahabat lama saya, Mbak Bunga Dessri Nur Ghaliyah, Mbak Winda, dan Mas Raden Bangun, Mas Deni Kartika, dan Mas Lukman Samboja.


Begitulah sebutan untuk mereka. Para pemain ricikan gamelan yang masih muda belia ini, memang harus diacungi jempol saja. Bukannya apa-apa, karena untuk bisa memainkan seluruh materi itu, kalau secara normal, biasanya diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dan, tak semua orang berani tampil, dengan hanya berbekal delapan kali latihan, apalagi dari nol besar. Penampilan pertama mereka, terjadi pada hari Minggu pagi, jam 09:00, tanggal 20 Agustus 2023, di Gedung Aula Barat, ITB, sebagai pembuka acara pagelaran wayang kulit purwa, yang dilaksanakan oleh para alumni ITB, anggota lama PSTK-ITB.


PATHET: PENJELAJAHAN MANUSIA SAAT MENITI KEHIDUPAN DAN WAKTU

  Bram Palgunadi Ya betul. Memang kenyataannya, ada hubungan yang amat sangat erat, antara kehidupan manusia dan waktu; dengan 'pathet...