Bram Palgunadi
Pengertian ‘embat’ pada gamelan Jawa, sebenarnya sangat beragam. Tetapi pemahaman tentang hal ini, dan yang dirasakan sangat dominan pengaruhnya, adalah yang berhubungan dengan dua hal.
- Pertama, embat dalam pengertian wilayah nada suatu gamelan, dihubungkan dengan fungsi utama gamelan itu.
- Kedua, embat dalam pengertian terjadinya perbedaan frekuensi pada nada yang sama, atau berbeda oktaf, dihubungkan dengan timbulnya fenomena frekuensi pelayangan, yang dampaknya menimbulkan gelombang alunan nada.
Kedua fenomena ini, biasanya dihubungkan dengan fungsi gamelan, yang sedikit-banyak juga berhubungan dengan soal citra (image) yang ditimbulkan oleh suara (nada) gamelan itu, saat dimainkan. Namun demikian, harus diakui juga, bahwa hal ini juga berhubungan erat dengan persoalan yang amat sangat teknis.
Pengertian embat, seperti juga pengertian pathet; dalam khazanah karawitan Jâwâ, agak tidak jelas maknanya. Penyebabnya juga sama, yaitu adanya sejumlah pengertian yang saling berbeda. Istilah embat, dapat berarti: perundingan atau bermusyawarah.[1] Selain itu, istilah embat juga dapat berarti: tingi-rendah wilayah/daerah susunan nada-nada pada suatu tangga-nada tertentu, menekan dengan paksa, melunakkan, melenturkan sesuatu, melengkungkan sesuatu, atau membuat sesuatu yang semula lurus menjadi lengkung. Arti yang lainnya: besar-kecilnya pergeseran nada dari penalaan bakunya. Istilah embat, juga bisa berarti: lengkung, melengkung, membelok, mengalun, atau berkelok-kelok.
Di bawah ini, dicontohkan bagaimana istilah 'embat' digunakan dalam suatu kalimat.
- Pada kalimat: "Coba embaten penjaline", artinya adalah: "Cobalah lengkungkan rotannya'.
- Pada kalimat: "Bocah kok angel diembat kelakuane", artinya adalah: "Anak kok sukar sekali diatur kelakuannya'.
- Pada kalimat: "Embat swarane ora enak", artinya adalah: "Susunan nada suaranya tidak enak didengar'.
- Pada kalimat: "Gamelan kae embate laras kanggo wayangan", artinya adalah: "Gamelan itu susunan nada-nadanya sesuai untuk pagelaran wayang".
- Pada kalimat: "Gamelan kae embate Slendro", artinya adalah: "Gamelan itu susunan nada-nadanya Slendro".
- Pada kalimat: "Gamelan kae ora metu embate babar blas", artinya adalah: "Gamelan itu tak ada alunan nadanya sama sekali".
- Pada kalimat: "Kaya embat-embat penjalin", artinya adalah: "Seperti kelenturan rotan" atau "Lentur bagaikan rotan".
- Pada kalimat: "Diembat rana, angel, diembat rene, angel", artinya adalah: "Diatur ke arah sana sukar, diatur ke arah sini juga sukar".
- Pada kalimat: "Embaten supaya dadi enak swarane', artinya adalah: "Aturlah (kendalikan) supaya menjadi enak suaranya".
- Pada kalimat: "Yen arep ngembat, kudu ngati-ati", artinya adalah: "Jika hendak melakukan pengaturan (pengendalian), harus dilakukan secara hati-hati".
- Pada kalimat: "Embaten yen wani", artinya adalah: "Paksalah jika berani".
- Pada kalimat: "Majuwa yen wani ngembat penjalin cacing", artinya adalah: "Majulah, jika berani melawan, menghadapi, atau mengatasi rapatnya tumbuhan rotan yang melingkar-lingkar rapat seperti cacing.
- Pada kalimat: "Dadi manungsa kuwi kudu bisa ngembat pamikir, supaya ora marahi gendra", artinya adalah: Jadi manusia itu harus bisa mengendalikan (mengatur) pemikiran, supaya tidak menyebabkan keributan".
Jadi, istilah embat ternyata mempunyai banyak arti dan makna. Tetapi, yang terpenting, adalah pemahaman bahwa istilah embat (dalam kasus gamelan Jawa), ada dua pengertian, yaitu
- Embat dalam pengertian sebagai alunan nada, atau besar-kecilnya perbedaan (deviasi) frekuensi di antara dua sumber suara (atau lebih) yang bernada sama, baik pada oktaf nada yang sama, maupun pada oktaf nada yang berbeda.
- Embat dalam pengertian sebagai tinggi-rendah wilayah nada pada suatu tangga-nada tertentu.
Besar pergeseran (deviasi) frekuensi / nada, menurut pola Embat Lugu (tidak ada pergeseran), pola Embat Sundari (bergeser sedikit ke arah ata), pola Embat Mucûk Bûng (bergeser ke arah atas agak banyak), dan pola Embat Laras Ati (bergeser sedikit ke arah bawah). (Sumber: grafik disusun oleh petulis).
Embat dalam pengertian ‘tingi-rendah wilayah/daerah susunan nada-nada pada suatu tangga-nada tertentu’, dapat dibagi menjadi tiga (3) golongan, yaitu sebagai berikut:
Embat andhap. Adalah susunan nada-nada pada suatu tangga-nada tertentu, yang berada di wilayah/daerah 'andhap' (bawah). Gamelan yang nada-nada ricikan-nya ditala pada embat andhap, secara umum akan menghasilkan kumpulan nada-nada yang terasa rendah. Sedangkan suara yang dihasilkan, secara keseluruhan akan mempunyai kesan (Inggris: image) tenang, sendu, dan tenteram. Gamelan yang digunakan untuk pagelaran karawitan, seperti klenengan, uyon-uyon, atau resital halus; yang garap karawitan-nya relatif halus dan diharapkan menghasilkan kesan (Inggris: image) tenang dan anggun; lebih sesuai menggunakan gamelan yang mempunyai 'embat andhap'.
Embat madyâ. Adalah susunan nada-nada pada suatu tangga-nada tertentu, yang berada di wilayah/daerah 'madyâ' (tengah). Gamelan yang nada-nada ricikan-nya ditala pada embat madyâ, secara umum akan menghasilkan kumpulan nada-nada yang terasa agak tinggi. Sedangkan suara yang dihasilkan, secara keseluruhan akan mempunyai kesan (Inggris: image) lebih ramai, dan relatif ke arah gembira. Gamelan yang digunakan untuk pagelaran karawitan pengiring beksan (tari), tari yang dilengkapi vokal, resital karawitan soran, pagelaran wayang wong, kethoprak, drama tari, dan sejenisnya; lebih sesuai menggunakan gamelan yang mempunyai 'embat madya'.
Embat inggîl. Adalah susunan nada-nada pada suatu tangga-nada tertentu, yang berada di wilayah/daerah 'inggîl' (atas). Gamelan yang nada-nada ricikan-nya ditala pada embat inggîl, secara umum akan menghasilkan kumpulan nada-nada yang terasa tinggi. Sedangkan suara yang dihasilkan, secara keseluruhan akan mempunyai kesan (Inggris: image) ramai, cemerlang, semarak, riang, dan gembira. Gamelan yang digunakan untuk pagelaran wayang kulit purwa, pagelaran wayang kulit madya, atau jenis-jenis pagelaran wayang lainnya; lebih sesuai menggunakan gamelan yang mempunyai 'embat inggil'.
Tangga-nada diatonis atau tangga-nada musik barat, mempunyai tinggi nada yang tertentu, dan dibakukan secara internasional. Misalnya, untuk nada A. ditentukan frekuensinya setinggi 440 Hertz. Ini berlaku untuk bagi semua jenis alat musik barat. Untuk menyamakan dan untuk menala nada-nada pada alat musik barat, biasanya digunakan acuan (Inggris: reference), berupa alat pembangkit nada acuan (Inggris: reference tone device, reference tone generator). Dalam hal ini, yang paling umum digunakan orang adalah memakai ‘garpu tala’ (Inggris: tuning fork), yang bisa membangkitkan nada denting, dengan getar frekuensi setinggi 440 Hertz. Cara lain yang kurang lazim (biasanya hanya digunakan di pabrik-pabrik berskala besar yang membuat alat musik), adalah memakai perangkat ukur elektronika yang disebut perangkat ‘pengukur (penghitung) frekuensi suara/audio’ (Inggris: audio frequency counter)[2] serta perangkat ‘pembangkit sinyal suara/audio’ (Inggris: audio signal generator).
Pada gamelan Jâwâ, pembakuan nada seperti yang diterapkan pada musik barat, dapat dikatakan tidak ada. Setiap gamelan Jâwâ, umumnya ditala sesuai dengan keinginan pemiliknya. Salah satu bentuk sistem acuan yang lazim digunakan pada proses penalaan nada ricikan gamelan Jâwâ, adalah menggunakan ricikan gamelan lain, yang dipandang baik nada-nadanya maupun embat-nya; sebagai acuan. Dalam hal ini, biasanya pemilik gamelan akan meminta kepada pembuat gamelan untuk membuat gamelan pesanannya, sesuai dengan nada-nada dan embat suatu gamelan tertentu, yang telah disepakati sebagai acuan.[3] Misalnya, pemesan atau pemilik gamelan meminta pembuat gamelan untuk menyesuaikan nada-nada dan embat pada gamelan pesanannya, dengan nada dan embat gamelan milik RRI Surakarta. Cara ini, merupakan yang paling lazim dilakukan orang sampai saat ini.
Dengan cara tersebut, sudah barang tentu antara gamelan yang satu dengan gamelan lainnya, seringkali terjadi perbedaan nada-nada. Namun seperti sudah dijelaskan, disebabkan setiap jenis embat tertentu pada dasarnya menghasilkan dan mempunyai sifat yang sangat khas; maka penyamaan, penyeragaman, atau pembakuan nada seperti pada musik barat lebih banyak tidak disukai orang.
Ricikan gamelan ‘perunggu wulung’ (perunggu hitam), Kyai Ganesa Lokananta, milik PSTK-ITB, adalah contoh gamelan Jawa yang menerapkan ‘Embat Mucuk-Bung’. Sehingga sebenarnya lebih cocok untuk iringan pagelaran wayang.
(Sumber: Foto koleksi petulis).
Embat dalam pengertian ‘besar-kecilnya pergeseran nada, dari penalaan bakunya’, menghasilkan pengolongan embat sebagai berikut:
Embat Lugu. Kadang-kadang juga disebut ‘embat pleng’ atau ‘laras pleng’. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah semua nada-nada pada suatu gamelan ditala tanpa menerapkan pergeseran nada sedikitpun. Dengan demikian, antara nada-nada yang sama yang berasal dari oktaf yang berbeda, akan merupakan kelipatan frekuensi (Inggris: harmonic frequency) yang tepat; sehingga di antara nada-nada yang sama tetapi berbeda oktaf itu, tidak terjadi peristiwa frekuensi pelayangan. Sebenarnya, ricikan gamelan yang nada-nadanya ditala dengan pendekatan ini, justru tidak mempunyai embat (tidak diberi embat, tanpa embat). Artinya, nada-nadanya ditala pada frekuensi yang tepat, tanpa ada upaya untuk menggeser dari penalaan bakunya (Inggris: zero beat). Biasanya pendekatan ini dilaksanakan pada saat ricikan gamelan baru selesai dibuat. Ricikan gamelan yang ditala dengan pendekatan ini (tanpa embat), umumnya akan menghasilkan nada-nada yang tepat pada nada bakunya (Inggris: zero beat), tetapi jika dimainkan (digunakan) akan terasa yang hambar dan datar (Inggris: plain). Penyebabnya, adalah tidak terjadinya kesan ‘kedalaman ruang’ (Inggris: space depthmess), yang diakibatkan oleh tidak terjadinya frekuensi pelayangan.
Embat Sundari. Adalah nada-nada yang digeser sedikit ke arah atas jika diukur terhadap penalaan nada bakunya; sehingga antara nada-nada yang sama dari oktaf yang berbeda, bukan lagi merupakan kelipatan frekuensi (Inggris: harmonic frequency), melainkan terjadi pergeseran sedikit ke arah atas (ke arah frekuensi yang lebih tinggi). Dengan demikian, nada yang sama yang berasal dari oktaf yang lebih atas (lebih tinggi), akan mempunyai frekuensi yang sedikit lebih tinggi dari nada baku yang seharusnya. Sebagai akibatnya, jika ricikan gamelan dibunyikan, akan terjadi frekuensi pelayangan, dengan perbedaan frekuensi atau deviasi frekuensi (Inggris: frequency deviation) yang relatif kecil. Deviasi frekuensi yang kecil ini, akan berakibat suara gamelan berkesan mengalun (berombak) dengan kecepatan rendah (mengalun secara lambat). Dengan demikian, akan terjadi kesan adanya kedalaman ruang (Inggris: space depthness) yang sifatnya besar. Ricikan gamelan yang ditala dengan pendekatan Embat Sundari, biasanya berkesan agak tenang tetapi tetap dinamis, gembira, dan ceria.
Embat Mucûk-Bûng. Adalah nada-nada yang digeser agak banyak ke arah atas jika diukur terhadap penalaan nada bakunya; sehingga antara nada-nada yang sama dari oktaf yang berbeda, bukan lagi merupakan kelipatan frekuensi (Inggris: harmonic frequency), melainkan terjadi pergeseran agak banyak ke arah atas (ke arah frekuensi yang jauh lebih tinggi). Dengan demikian, nada yang sama yang berasal dari oktaf yang lebih atas (lebih tinggi), akan mempunyai frekuensi yang agak lebih tinggi dari nada baku yang seharusnya. Sebagai akibatnya, jika ricikan gamelan dibunyikan, akan terjadi frekuensi pelayangan, dengan perbedaan frekuensi atau deviasi frekuensi (Inggris: frequency deviation) yang relatif agak besar. Deviasi frekuensi yang agak besar ini, akan berakibat suara gamelan berkesan mengalun (berombak) dengan kecepatan tinggi (mengalun secara cepat). Dengan demikian, akan terjadi kesan adanya kedalaman ruang (Inggris: space depthness) yang sifatnya relatif kecil. Embat Mucûk-Bûng ini, sebenarnya merupakan Embat Sundari yang pergeseran nadanya diperbesar. Embat ini, sering digunakan atau diterapkan pada gamelan wayangan, karena hasilnya sangat baik untuk membuat cengkok swara (lekuk-liku suara), khususnya kombangan yang dilakukan oleh dhalang. Ricikan gamelan yang ditala dengan pendekatan Embat Mucûk-Bûng, biasanya berkesan sangat dinamis, menyenangkan, dan ramai.
Embat Laras-Ati. Adalah nada-nada yang digeser sedikit ke arah bawah jika diukur terhadap penalaan nada bakunya; sehingga antara nada-nada yang sama dari oktaf yang berbeda, bukan lagi merupakan frekuensi kelipatan (Inggris: harmonic frequency), melainkan terjadi pergeseran sedikit ke arah bawah (ke arah frekuensi yang lebih rendah). Dengan demikian, nada yang sama yang berasal dari oktaf yang lebih atas (lebih tinggi), akan mempunyai frekuensi yang sedikit lebih rendah dari nada baku yang seharusnya. Sebagai akibatnya, jika ricikan gamelan dibunyikan, akan terjadi frekuensi pelayangan, dengan perbedaan frekuensi atau deviasi frekuensi (Inggris: frequency deviation) yang relatif kecil. Deviasi frekuensi yang tidak besar ini, akan berakibat suara gamelan berkesan mengalun (berombak) dengan kecepatan rendah (mengalun secara lambat). Dengan demikian, akan terjadi kesan adanya kedalaman ruang (Inggris: space depthness) yang sifatnya relatif besar. Ricikan gamelan yang ditala dengan pendekatan Embat Laras-Ati, biasanya berkesan tenang, damai, anggun, dan menyenangkan. Karenanya, banyak diterapkan pada gamelan yang lebih banyak digunakan untuk pagelaran uyôn-uyôn atau klenèngan.
Salah satu ricikan gamelan yang bisa jadi paling sering menerima ‘pukulan’ hebat (ditabuh keras-keras), adalah kenong. Karena itu, ricikan ini pula yang akan menerima dampak paling serius, yaitu bergeser atau berubah kalibrasi nadanya. (Sumber: Foto koleksi petulis).
Embat dalam pengertian ini, seringkali digunakan untuk ‘ngurîpaké swârâ gamelan’ (menghidupkan suara gamelan) dan membuat kesan adanya ‘kedalaman ruang’ (Inggris: space depthness); yang kenyataannya dilakukan dengan cara mengatur besar-kecilnya pergeseran nada atau mengatur besar-kecilnya deviasi frekuensi antara dua nada yang sama, sedemikian rupa, sehingga terjadi frekuensi pelayangan di antara kedua nada tersebut. Salah satu faktor penting yang bisa ‘menghidupkan suara gamelan’ dan membuatnya seakan-akan mempunyai kedalaman ruang. adalah terjadinya ‘ombak-ombakan’ (nada yang mengalun atau nada yang berombak).
Ombak-ombakan ini, ditimbulkan oleh adanya frekuensi pelayangan; sebagai akibat adanya dua nada, yang frekuensi dasarnya berdekatan; atau, frekuensi kelipatannya berdekatan. Secara umum, kondisi ombak-ombakan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Jika perbedaan (deviasi) frekuensi antar dua nada yang sama, tidak ada; (Inggris: zero beat),[4] akan berakibat tidak terjadi frekuensi pelayangan. Akibatnya, tidak akan terjadi ombak-ombakan. Dengan demikian, sama sekali tidak terjadi adanya kesan kedalaman ruang.
- Jika perbedaan (deviasi) frekuensi antar dua nada yang sama, nilainya kecil; akan berakibat semakin rendah frekuensi pelayangan yang terjadi. Semakin rendah frekuensi pelayangan, akan berakibat alunan ombak-ombakan yang terjadi semakin lambat. Alunan ombak-ombakan yang lambat, berakibat terjadinya kesan kedalaman ruang yang semakin besar. Kondisi ini, sangat baik untuk gamelan yang dimainkan dengan kecepatan rendah; misalnya pada pagelaran uyôn-uyôn atau klenèngan.
- Jika perbedaan (deviasi) frekuensi antar dua nada yang sama, nilainya besar; akan berakibat semakin tinggi frekuensi pelayangan yang terjadi. Semakin tinggi frekuensi pelayangan, akan berakibat alunan ombak-ombakan yang terjadi semakin cepat. Alunan ombak-ombakan yang cepat, berakibat terjadinya kesan kedalaman ruang yang semakin kecil. Kondisi ini, sangat baik untuk gamelan yang dimainkan dengan kecepatan tinggi; misalnya, pada pagelaran wayang.
- Jika perbedaan (deviasi) frekuensi antar dua nada yang sama, nilainya sangat besar; maka tidak akan terjadi frekuensi pelayangan. Akibatnya tidak terjadi ombak-ombakan; dan juga sama sekali tidak terjadi kesan kedalaman ruang. Selain itu, nada-nada gamelan akan terdengar slîrîng atau bléro (Inggris: false).
Harus dipahami juga, bahwa frekuensi pelayangan hanya terjadi jika dua nada yang sama mempunyai perbedaan frekuensi atau deviasi frekuensi yang nilainya kecil (sedikit berbeda). Besarnya perbedaan frekuensi nada, biasanya (maximum) hanya beberapa Hertz saja. Misalnya, nada pertama (F1) berfrekuensi 440,0 Hz, nada kedua (F2) berfrekuensi 441,2 Hz. Kedua nada ini (F1 dan F2), perbedaan (deviasi) frekuensinya hanya sebesar 1,2 Hz. [5]
Pada masa sekarang, ricikan gamelan cenderung dibuat dengan pendekatan ‘multi purpose’, dan bukan untuk penggunaan khusus. Akibatnya, gamelan buatan jaman sekarang, cenderung tidak terlampau enak dan tidak terlampau nyaman didengarkan suaranya, karena banyak hal yang dikorbankan. (Sumber: Foto koleksi petulis).
Pada musik barat, karena penalaan nadanya menggunakan pendekatan embat lugu (Inggris: zero beat), justru memerlukan berbagai sistem atau perangkat bantu pemroses suara (Inggris: sound processor), yang bisa menghasilkan adanya kesan ‘kedalaman ruang’ (Inggris: space depthness). Perangkat bantu pemroses suara tambahan yang lazim digunakan untuk keperluan ini, misalnya: alat pembuat gaung/gema (Inggris: reverbration), alat pembuat pantulan suara (Inggris: echo), dan alat pembuat alunan suara (Inggris: tremolo). Di sinilah salah satu letak perbedaan utama antara musik gamelan dengan musik barat.
[1] Prof. Drs. S. Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, (Penerbit
CV Pengarang, 1977), hal. 84.
[2] Perangkat ‘audio frequency counter’ yang cukup teliti, biasanya mempunyai jangkauan wilayah pengukuran antara frekuensi 0 Hz. sampai jauh di atas frekuensi 100 kHz; dengan pada tingkat ketelitian pembacaan sekitar dua atau tiga angka di belakang koma (Inggris: two/three fractional digit). Pada masa sekarang, perangkat sejenis ini, tersedia dalam berbagai pilihan, dan umumnya sudah berupa perangkat ukur frekuensi digital (Inggris: digital audio frequency counter) yang sangat praktis.
[3] Untuk mendapatkan nada acuan dari suatu gamelan tertentu, ada sejumlah cara yang bisa ditempuh.
Cara ke-satu. Seseorang harus berusaha meminjam sebuah ricikan gamelan yang hendak dijadikan acuan. Untuk keperluan ini, biasanya digunakan sebuah ricikan saron pambarung (biasanya mempunyai susunan nada-nada sebanyak satu oktaf lebih sedikit) atau gender pambarung (biasanya mempunyai susunan nada-nada sebanyak dua oktaf lebih sedikit).
Cara ke-dua. Seseorang harus berusaha mendapatkan hasil rekaman nada-nada ricikan gamelan yang akan digunakan sebagai acuan. Hal ini, bisa dilakukan dengan cara merekam secara langsung suara ricikan gamelan yang dimaksud, langsung di tempat gamelan tersebut berada; menggunakan perangkat perekam. Misalnya menggunakan perekam kaset (Inggris: casette recorder), atau perekam lainnya.
Cara ke-tiga. Merupakan cara yang paling mudah dilaksanakan, yaitu dengan mendengarkan rekaman gendhîng (biasanya dalam bentuk pita kaset) yang sewaktu dimainkan dan direkam, menggunakan gamelan yang hendak digunakan sebagai acuan. Kaset yang berisi rekaman gendhîng Jâwâ, biasanya pada kemasannya mencantumkan kelompok (grup) panjak yang memainkannya, pesindhèn-nya, pemimpinnya, dan kadang-kadang juga mencantumkan lokasi tempat proses perekaman itu dilakukan. Selain itu, pada kemasannya kadangkala juga mencantumkan instansi, lembaga, atau dinas; pemilik gamelan yang digunakan pada saat rekaman gendhîng tersebut dilakukan.
Cara ke-empat. Adalah mendengarkan menggunakan pesawat penerima radio dan merekam menggunakan alat perekam kaset; acara siaran gendhîng-gendhîng Jâwâ yang dilakukan oleh suatu stasiun pemancar radio tertentu (misalnya, acara yang disiarkan oleh RRI).
[4] Pengertian ini, setara dengan menyatakan bahwa deviasi frekuensi = 0. Dalam kondisi seperti ini, jika dua (2) nada mempunyai frekuensi yang sama; maka tidak akan terjadi ‘suitan nada’ (Inggris: beat tone). Kondisi ini, disebut nada suitannya setara dengan 0, atau dalam bahasa Inggris disebut ‘zero beat’.
[5] Seorang pembuat ricikan gamelan, yang lazim disebut 'panji gamelan', dengan kemampuan pendengarannya (menggunakan telinga), tanpa bantuan alat ukur canggih apapun, bisa ‘mengukur’ perbedaan frekuensi pelayangan sampai tepat sebesar 0 Hertz (Inggris: zero beat). Atau, secara sengaja (jika dikehendaki) bisa mengatur penalaan perbedaan (deviasi) frekuensi dua nada yang sama, sehingga sesuai dengan ombak-ombakan (aluan suara/nada) yang dikehendaki. Kemampuan ini, biasanya sangat baik pada nada-nada yang berada di wilayah tengah (Inggris: middle tone range). Pada nada-nada yang berada di wilayah atas (nada tinggi; Inggris: high tone range) serta wilayah bawah (nada rendah; Inggris: low tone range), umumnya terjadi kesulitan. Hal ini, disebabkan kemampuan dan kepekaan pendengaran yang terbaik pada manusia, umumnya berada di antara frekuensi 300 – 3.000 Hertz. Karenanya, untuk menala nada-nada yang berada jauh di bawah 300 Hertz, atau berada jauh di atas 3.000 Hertz, kemampuan penalaannya menjadi berkurang. Namun demikian, sejumlah panji gamelan, diketahui memang mempunyai kepekaan dan kemampuan yang dapat dikatakan jauh melampui kemampuan dan kepekaan rata-rata manusia biasa. Dengan demikian, ia bisa melakukan penalaan nada secara cukup teliti, untuk nada-nada yang jauh di bawah frekuensi 300 Hertz atau jauh di atas 3.000 Hertz. Sebagai contoh, penalaan Ricikan Gông Ageng atau Ricikan Gông Suwukan, yang frekuensinya jauh di bawah 100 Hertz, umumnya bisa ditala dengan sangat baik, bahkan dengan penalaan ombak-ombakan (alunan suara) yang sangat lambat dan panjang; sehingga bunyinya sangat indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar