12 Oktober, 2023

FREKUENSI BILAH-BILAH NADA GENDER PAMBARUNG SLENDRO PADA KYAI SEKAR GANESA LOKANANTA

 

Bram Palgunadi



Sebenarnya sudah lama saya ingin melakukan proses dokumentasi terhadap frekuensi Ricikan Gender Pambarung Laras Slendro yang merupakan bagian dari Gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta. Penyebabnya, gamelan ini, pada tahun 2003, atas permintaan saya, dan karena diperlukan untuk suatu pagelaran wayangan, yang akan dilaksanakan pada bulan Maret 2003; pernah di-laras-ulang (ditala-ulang) oleh Bapak Widodo, seorang Panji Sepuh, yang berasal dari Kadhokan, Sura-Karta. Jadi, penalaan-ulang itu pernah dilakukan 20 tahun yang lalu.

Pada waktu itu, unit PSTK-ITB sebenarnya sudah mempunyai seperangkat gamelan, yang oleh kalangan anggota PSTK-ITB, lebih dikenal dengan sebutan 'Gamelan Merah', karena warna 'rancak'-nya yang merah. Gamelan Merah ini, merupakan sebuah gamelan yang bahan pembuat utamanya, adalah besi dan kuningan. Gamelan Merah ini, merupakan sebuah gamelan yang dulu dibuat di Desa Loceret, yang lokasinya beberapa kilo-meter di sebelah selatan Kota Nganjuk, Jawa Timur.

Lalu, beberapa tahun kemudian, atas usulan dan inisiatif Mas Ariyatno, yang di kalangan para anggota PSTK-ITB, lebih dikenal dengan sebutan 'Simbah Ariyatno', Gamelan Merah itu dilengkapi dengan beberapa ricikan, yang berbahan perunggu. Ricikan yang merupakan pelengkap ini, dulu dibuat di Mbarat, yang lokasinya beberapa kilo-meter di sebelah selatan Kota Ngawi, Jawa Timur. Para 'panji' pembuat ricikan dari Mbarat, Ngawi ini, sangat terkenal dengan teknik pembuatan ricikan gamelan berbahan kuningan (Inggris: brass). Dan, sudah barang tentu, mereka bisa juga membuat ricikan gamelan dengan teknik pembuatan ricikan gamelan berbahan perunggu (Inggris: bronze). 

Atas usulan Mas Ariyatno itu pula, saya akhirnya diperkenalkan dengan Bapak Widodo, seorang 'panji' dari Desa Kadhokan, Sura-Karta, yang lokasinya berada di seberang timur sungai Bengawan Solo; yang mempunyai kekhasan sebagai panji pembuat ricikan gamelan perunggu wilahan. Yaitu ricikan gamelan berbentuk bilah, berbahan perunggu. Sedangkan sahabatnya, juga seorang panji, yaitu Bapak Wignja Raharja, dari Desa Jati-Teken, Bekonang, yang lokasinya di sebelah timur-laut Desa Kadhokan; mempunyai kekhasan sebagai panji pembuat ricikan gamelan perunggu bunderan. Yaitu ricikan gamelan berbentuk bulat atau bundar, berbahan perunggu.

Gamelan Merah itu, sejak awal dibuatnya dulu, memang sudah berkarakter dan menerapkan 'Embat Mucuk Bung', yang dikenal merupakan 'Embat Khas Wayangan', yang 'ombak-ombakan' nada-nadanya relatif cepat, dan selain itu wilayah nada-nadanya juga relatif tinggi. Dan karenanya, menjadikan Gamelan Merah itu sangat sesuai, dan amat sangat bagus untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa.

Atas pertimbangan itu, maka gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta, yang warna wilahan dan bunderan gamelan-nya berwarna hitam, yang lazim disebut  'Perunggu Wulung' atau merupakan logam perunggu, yang permukaan logamnya tidak di-'gilap' (tidak dibuat mengkilat), dan dibiarkan berwarna kehitaman, seperti warna asli logam perunggu, saat baru selesai dari proses di-'kelem' atau baru selesai dari proses 'dituakan' (Inggris: hardened). Gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta ini, dulunya buatan seorang panji yang bernama Bapak Tentrem, dari Bekonang, Sura-Karta. Selama beberapa tahun sejak diterima dan digunakan oleh unit PSTK-ITB, belum pernah di-'laras'-ulang. Pada tahun 2003, memang bisa dirasakan, beberapa nadanya mulai 'sliring' (Inggris: false), dan sangat terasa tidak tepat nadanya.

Menurut 'pakem'-nya, sebuah gamelan yang baru saja selesai dibuat, tiga bulan pertama setelah selesai dibuat, harus diperiksa nada-nadanya dan biasanya memang memerlukan proses penalaan-ulang. Kemudian, enam bulan setelah proses penalaan-ulang itu selesai dilakukan, seharusnya dilakukan proses pemeriksaan laras (nada). Apakah masih baik, atau sudah berubah. Jika sudah berubah, maka harus dilakukan proses penalaan-ulang lagi. Proses pemeriksaan dan penalaan-ulang ini, kemudian harus dilakukan lagi, setahun kemudian. Lalu diulang, tiga tahun kemudian. Lalu, diulang lagi, enam tahun kemudian. Selepas masa itu, lazimnya nada-nada gamelan sudah menjadi relatif stabil. Meskipun demikian, lebih disarankan untuk melakukan proses pemeriksaan nada dan jika diperlukan juga melakukan proses penalaan-ulang setiap lima tahun atau enam tahun. Rekomendasi ini, petulis dapatkan dari Bapak Widodo dan Bapak Wignya Raharja; yang keduanya memang merupakan panji pembuat ricikan gamelan, yang sangat berpengalaman. Rekomendasi lainnya, juga petulis dapatkan dari Bapak Samodra, seorang staf pengajar (dosen) senior, pada Jurusan Teknik Mesin, Insitut Teknologi Bandung (ITB); yang dalam suatu diskusi dengan petulis, membenarkan pendapat Bapak Widodo dan Bapak Wignya Raharja. 

Kepada petulis, Bapak Samodra, yang kebetulan pada waktu itu, juga merupakan Pembina PSTK-ITB, pada waktu berdiskusi dengan petulis, secara khusus menjelaskan kepada petulis tentang proses yang berhubungan dengan persoalan terjadinya proses ketegangan permukaan logam, pada saat baru selesai diproses. Menurut beliau, ketegangan permukaan (Inggris: surface stress) ini, bisa berdampak kepada terjadinya ketidak-stabilan nada, dan terjadinya pergeseran frekuensi nada pada gamelan. Ketegangan permukaan ini, semakin lama, akan semakin berkurang. 

Pada waktu diskusi, Bapak Samodra juga mencontohkan proses penstabilan permukaan logam, yang dilakukan pada proses pembuatan mesin bubut, berbahan besi baja, sebagai sebuah mesin mekanis yang presisi. Menurut penjelasan beliau, kerangka (Inggris: frame) mesin bubut, yang baru selesai dicor dan dicetak, harus dibiarkan dan diletakkan di udara terbuka, selama kira-kira enam bulan. Proses ini, menurut beliau, diperlukan untuk membuat ketegangan permukaan pada logam menurun dan berkurang (tidak bisa hilang sama-sekali). Ketegangan permukaan logam, bisa berdampak kepada terjadinya perubahan ukuran (dimensi). Padahal, pada mesin-mesin mekanis yang sangat presisi, terjadinya perubahan ukuran (dimensi), harus diupayakan tidak terjadi. Meskipun hal ini, tidak akan bisa dicapai sepenuhnya, tetapi paling tidak soal perubahan ukuran (dimensi) ini, harus diupayakan sekecil mungkin. Seperti telah disinggung, ketegangan permukaan ini, semakin lama, akan semakin berkurang. Artinya, semakin lama, logam akan menjadi semakin stabil. Tetapi, ketegangan permukaan logam, tidak akan bisa hilang sama sekali.

Begitulah menurut penjelasan Bapak Samodra, yang akhirnya juga mempunyai kesimpulan yang sama, dalam hal kestabilan nada, karena pada dasarnya, ricikan gamelan yang juga dibuat dari logam, yang sangat peka pada perubahan ukuran (dimensi); terutama pada ricikan gamelan yang berbentuk wilahan (bilah) dan bunderan (bulat, bundar); terutama yang menerima pukulan cukup keras, saat dibunyikan atau saat dimainkan. 

Berdasar penjelasan Bapak Samodra itulah, petulis jadi sangat sadar, mengapa perubahan nada pada ricikan gamelan, lazimnya justru tidak terjadi secara extrim, pada Ricikan Gender Pambarung misalnya. Penyebabnya, cara membunyikan atau cara memainkan Ricikan Gender Pambarung dilakukan menggunakan tabuh gender, yang merupakan pemukul lunak, berbentuk piring kecil berbahan kayu, yang dilengkapi kain dan tali, sebagai pelunak permukaan pemukulnya. Akibatnya, proses pembunyian nada pada wilah gender, tidak akan berdampak buruk pada nada. Dan karenanya, nada pada bilah-bilah Ricikan Gender Pambarung, boleh dikatakan akan cukup stabil frekuensi nada-nadanya untuk waktu yang  relatif lama; terutama setelah masa stabilnya bisa dicapai.

Berdasar penjelasan dan bahasan di atas, maka sekarang jelaslah, mengapa kebanyakan para panji pembuat ricikan gamelan, biasanya cenderung menyimpan dan mempunyai Ricikan Gender Pambarung, yang dalam pekerjaan sehari-harinya, cenderung selalu digunakan sebagai acuan nada atau sebagai referensi nada, atas berbagai ricikan gamelan baru yang dibuatnya.

Pada hari Minggu siang, tanggal 8 Oktober 2023, petulis memang secara khusus, tetap pergi ke tempat berlatih, yaitu di Ruang Latihan Bersama (RLB) PSTK-ITB. Hari itu, kebetulan latihan karawitan wayangan dan Tembang Suluk Pesisir sedang tidak dilaksanakan, karena para mahasiswa dan mahasiswi ITB sedang mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS). Siang itu, sebelum suasananya berubah menjadi gaduh, dan penuh dengan berbagai gangguan suara lain, serta berbagai keramaian yang terjadi di sekitar ruang itu, saya melakukan proses pengukuran frekuensi bilah-bilah nada Ricikan Gender Pambarung Laras Slendro, yang biasanya saya gunakan untuk mengiringi lantunan Tembang Suluk Pesisir, dalam latihan karawitan wayangan.

Alat ukur frekuensi yang saya pakai, cukup sederhana, yaitu menggunakan perangkat telepon selular (Inggris: cellular phone, mobile phone), yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hand phone', meskipun ini merupakan istilah yang salah kaprah. Kebetulan pada perangkat telepon saya, sudah saya lengkapi dengan perangkat lunak aplikasi (Inggris: application software) 'Audio Frequency Counter', yang bisa digunakan untuk melakukan proses pengukuran frekuensi audio/suara. 



Ini merupakan tiga contoh tampilan sarana perangkat lunak aplikasi (application software), yang saya gunakan untuk melakukan proses pengukuran frekuensi nada bilah Ricikan Gender Pambarung Laras Slendro, yang merupakan bagian dari kelengkapan gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.


Hasil pengukuran frekuensi yang dilakukan, bisa dilihat pada tabel di bawah ini.


Hasil pengukuran ini, menunjukkan adanya pergeseran frekuensi nada, dari yang seharusnya. Hal ini,  menunjukkan bahwa antara nada yang sama, tetapi berbeda oktaf, tidak selalu menghasilkan kelipatan dua frekuensi yang lebih rendah. Hal ini, bisa terjadi karena penerapan 'embat'. Atau, terjadi perubahan frekuensi nada, sebagai akibat sudah terlalu lama ricikan gamelan itu tidak dikalibrasi-ulang; atau, tidak ditala-ulang.


Jika kita berpegang kepada proses penalaan baku, yang hasilnya lazim disebut 'Embat Lugu', yakni penalaan yang sama sekali tidak menerapkan embat, maka setiap bilah nada tertentu, yang berasal dari oktaf yang sama, akan benar-benar mempunyai frekuensi nada yang sama. Dalam hal ini, sama sekali tidak terjadi pelayangan, atau sama sekali tidak terjadi deviasi frekuensi. Kondisi ini, lazim disebut 'zero beat'. Artinya, sama sekali tidak terjadi 'beat tone'. Secara teknis kondisi ini disebut, beat tone yang dihasilkan adalah 0 Hz; atau, sama dengan sama sekali tidak terjadi beat tone. Dalam kasus ini, jika dua nada (atau lebih) mempunyai frekuensi nada yang benar-benar sama, maka di antara frekuensi nada tersebut, perbedaan frekuensinya adalah 0 Hz.

Kurva frekuensi di atas ini, menunjukkan bahwa perubahan nada, ternyata menghasilkan frekuensi yang tidak linier perubahannya. Hal ini, menunjukkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain 1) Pada wilayah nada itu diterapkan suatu 'embat', sehingga menghasilkan 'pelayangan'. 2) Kemungkinan pergeseran frekuensi nada itu bisa juga disebabkan oleh gamelan yang sudah terlalu lama tidak ditala-ulang. Diagram kurva frekuensi ini, disusun oleh Mas Luthfi Darmawan, seorang mantan Ketua PSTK-ITB, dari Tulung-Agung, dengan sedikit disunting oleh petulis, sekedar untuk lebih memperjelah gambarnya.


Hal yang sama, juga bisa terjadi pada dua nada, atau lebih, yang berbeda oktaf. Bilah-bilah nada tersebut, akan mempunyai pasangan bilah nada yang sama, tetapi berasal dari oktaf yang berbeda. Sebagai contoh, jika misalnya kita tetapkan nada 1 (panunggul, barang) mempunyai frekuensi 268 Hz, maka nada 1 atas (panunggul inggil, barang inggil), seharusnya mempunyai frekuensi yang merupakan kelipatan dua, dari frekuensi bilah nada yang sama, tetapi berasal dari oktaf yang lebih rendah; yaitu 536 Hz. Kondisi ini, terjadi jika penalaan menerapkan 'Embat Lugu'. 

Sedangkan jika penalaan lanjutannya menerapkan 'Embat Sundari' misalnya, maka frekuensi nada yang sama pada oktaf yang lebih tinggi, akan sedikit berbeda frekuensinya, sehingga terjadi 'pelayangan'. 

  • Semakin besar perbedaan frekuensi yang terjadi, akan semakin besar perbedaan (deviasi) frekuensi pelayangan yang terjadi. Akibatnya, 'ombak-ombakan' (alunan nada) yang terjadi, akan cenderung menjadi cepat. Sebutannya 'ombak-ombakan seseg' (alunan nada yang cepat). Alunan yang cepat, lebih sesuai untuk diterapkan pada gamelan pengiring pagelaran wayang kulit purwa, atau pagelaran wayang pada umumnya; yang biasanya memang menggunakan pola garap permainan karawitan yang cepat.
  • Semakin kecil perbedaan frekuensi yang terjadi, akan semakin kecil perbedaan (deviasi) frekuensi pelayangan yang terjadi. Akibatnya, 'ombak-ombakan' (alunan nada) yang terjadi, akan cenderung menjadi lambat. Sebutannya 'ombak-ombakan alon' (alunan nada yang lambat). Alunan yang lambat, lebih sesuai untuk diterapkan pada gamelan pengiring pagelaran uyon-uyon, pakurmatan, dan beberapa jenis beksan (tarian) tertentu, yang menerapkan pola garap yang relatif lambat dan halus; yang biasanya memang menggunakan pola   garap  permainan  karawitan  yang relatif juga lambat.
  • Jika perbedaan frekuensi nada-nada yang sama, menjadi semakin besar, maka pada suatu titik tertentu, pelayangan justru lenyap. Dalam kasus ini, frekuensi nada-nada itu justru akan terdengar 'sliring' (Inggris: false). Pada kondisi seperti ini, nada-nada ricikan gamelan akan terdengar rusak; atau, tidak sesuai dengan frekuensi nada yang seharusnya. Tentu saja hal seperti ini sama sekali tidak dikehendaki. 
Selanjutnya, di bawah ini, dijelaskan secara ringkas kemungkinan penerapan embat.  
  • Penerapan embat, bisa dilakukan terhadap dua atau tiga nada yang sama, tetapi berbeda oktaf. Misalnya, diterapkan pada bilah-bilah nada pada sejumlah ricikan gamelan. yang umumnya mempunyai jumlah bilah nada cukup banyak. Misalnya, pada Ricikan Gender Pambarung, Ricikan Gender Panerus, atau Ricikan Gambang Gangsa. Ricikan gamelan ini, lazimnya mempunyai jumlah bilah nada yang cukup banyak, dan nada-nadanya meliputi dua oktaf atau lebih.
  • Penerapan embat, juga bisa dilakukan terhadap dua nada yang sama, dan berasal pada oktaf yang sama. Misalnya, diterapkan pada nada yang sama, tetapi berasal dari sejumlah ricikan gamelan yang berbeda. Misalnya, berasal dari sejumlah Ricikan Balungan yang berbeda.

Di luar persoalan yang sudah dibahas di atas, ada juga sejumlah persoalan yang ada baiknya juga diketahui.  Bagaimanapun juga, sumber nada pada gamelan, yang berupa logam perunggu, atau logam lain, sebenarnya sangat tidak disarankan untuk menerima terpaan suhu tinggi. Misalnya, sangat tidak disarankan, untuk menempatkan ricikan gamelan di tempat terbuka, yang bisa membuat sumber nada dari logam itu terpapar suhu mata-hari secara langsung misalnya. Suhu tinggi, jelas bisa mengubah frekuensi sumber nada ricikan gamelan. Penyebabnya perubahan suhu, akan menghasilkan perubahan dimensi mekanis, yaitu terjadinya proses pemuaian logam; yang pada akhirnya juga berdampak berubahnya frekuensi nada.

Jangan pula dilupakan, bahwa ketebalan setiap sumber nada pada ricikan gamelan, umumnya berbeda. Perbedaan ketebalan ini, jelas akan menghasilkan perbedaan pengaruh, atas hasil paparan panas mata-hari. Artinya, terpaan cahaya mata-hari selama waktu tertentu, akan menghasilkan dampak yang berbeda.

Tidak ada komentar:

PATHET: PENJELAJAHAN MANUSIA SAAT MENITI KEHIDUPAN DAN WAKTU

  Bram Palgunadi Ya betul. Memang kenyataannya, ada hubungan yang amat sangat erat, antara kehidupan manusia dan waktu; dengan 'pathet...